TETANUS NEONATORUM

A.   DEFINISI

Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat

Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).

Tetanus neonatorum juga terjadi pada anak yang dilahirkan oleh yang tidak di imunisasi secara adekuat terutama setelah perawatan tali pusar yang tidak steril.

 

B.   INSIDEN

Kebanyakan tetanus neonatorum terdapat pada bayi yang baru lahir, Neonatorum yang tidak dirawat, angka mendekati 100%. Angka kematian kasus Tetanus Neonatorum yang dirawat di rumah sakit di Indonesia bervariasi dengan kisaran 10,8 – 55%.

C.   ETIOLOGI

  • Clostridiumtetani
  • Pemotongan tali pusat bayi menggunakan alat yang tidak bersih atau steril.
  • Luka tali pusat kotor atau tdak bersih.
  • Ibu hamil tidak mendapat imunisasi TT lengkap.

 

D.     MASA INKUBASI

Tetanus Neonatorum ini terjadi selama 5-14 hari. Pada umumnya Tetanus Neonatorum ini lebih cepat dan penyakit berlangsung lebih berat daripada Tetanus pada anak.

E.   FATOFISIOLOGI

Virus yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobit beruba menjadi bentuk fegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksin dalam jaringan yang anaerobit ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya pus, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra aksonal toksin disalurkan ke sel syaraf yang memakan waktu sesuai dengan panjang aksonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel syaraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sum-sum tulang belakang toksin menjalar dari sel syaraf lower motorneuron keluksinafs dari spinal inhibitorineurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitoritransmiter dan menimbulkan kekakuan.

F.    MANIFESTASI KLINIK

  • Bayi yang semula bisa menetek dengan baik tiba-tiba tidak bisa.
  • Mulut mencucu seperti mulut ikan.
  • Kesukaran menelan ASI
  • Iritabilitas(motilitas usus yang patologis sehingga timbul gejala tidak enak/sakit pada perut)
  • Suhu tubuh dapat meningkat
  • Mudah kejang

G.  PENATALAKSANAAN

  • Di berikan cairan melalui intravena
  • Obat ATS 10.000 untuk perhari di berkan selama 2hari berturut-turut dengan IM untuk neonatus bisa di berikan IV apa bila tersedia dapat di berikan human tetanus  immununoglobulin(HTIG) 3000-6000IU.im.
  • Ampisilin 100mg/kg/BB hari di bagi 4dosis
  • Tali pusat dibersihkan atau dikompres dengan alkohol betadine 10%
  • Memberikan suntikan anti kejang, obat yang dipakai ialah kombinasi fenobarbital dan largaktil. Fenobarbital dapat diberikan mula-mula 30-60 mg parenteral, kemudian dilanjutkan dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat diberikan bersama luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari. Kombinasi yang lain ialah Kloralhidrat yang diberikan lewat anus.

H.  PENCEGAHAN

  • Imunisasi aktif
  • Perawatan tali pusat yang baik
  • Pemberian toksoid tetanus pada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ke 3
  • Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A.   PENGKAJIAN

1.      Identitas

2.      Riwayat kerawatan Antenatal,Itranatal,Posnatal

3.      Pemeriksaan fisik

  • Keadaan umum:lemeh,sulit menelan kejang
  • Kepala:posisi menengadah,kaku kuduk,dahi menkerut,mata agak tertutup,sudut mulut keluar dan kebawah
  • Mulut : kekakuan mulut, mengatupnya rahang seperti mulut ikan
  • Dada:Simestrik,kekakuan otot penyangga,rongga dada,otot punggung.
  • Abdomen:Dinding perut seperti papan
  • Kulit:turgor kurang,pucat,kebiruan
  • Estremitas:pleksi pada tangan,ekstensi pada tungkai,hipertoni,sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.     

B.   DIAGNOSA KEPERAWATAN

  1. 1.      Ketidak efektifan jalan nafas b.d kelemahan oto respirasidimanifestasikan kekakuan otot leher, otot punggung dan sesak nafas
  2. 2.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d reflex menghisap pada bayi yang btidak adekuat dimanifestasikan dengan ketidak mampuan dalam menelan.
  3. Kurang pengetahuan orang tua tentang  kondisi, prognosis dan tindakan keperawatan berhubungan dengan kurangnya informasi, kemungkinan dibuktikan oleh :

Pertanyaan/meminta informasi, mengungkapkan masalah, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

  1. Ketidak efektifan jalan napas berhubungan dengan kelemahan otot-otot respirasi, dimanifestasikan dengan :
  • Kekakuan otot punggung, otot leher
  • Sesak napas

Intervensi Keperawatan

  • Kaji frekwensi dan pola napas
  • Perhatikan adanya apneu dan perubahan frekwensi jantung, tonus otot dan warna kulit
  • Atur posisi bayi dengan kepala ekstensi
  • Berikan oksigan 1-2 liter/menit. Jika sedang terjadi kejang karena sianosis bertambah berat O2 diberikan lebih tinggi dapat sampai 4 liter/menit (jika kejang berhenti turunkan lagi)
  • Bila terjadi kejang, pasang sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang dan juga memudahkan penghisapan lendir bila ada, lebih baik dipasang guedel (selama masih banyak kejang guedel atau sudip lidah dipasang terus)
  • Sering isap lendir yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat lendir pada mulut bayi
  • Observasi tanda vital secara kontinu setiap ½ jam dan catat secara cermat, pasien Tetanus Neonatorum karena mendapatkan anti Konvulsan terus kemungkinan sewaktu-waktu dapat terjadi apnea
  • Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang selubung tempat tidur/kain di sekeliling tempat tidur karena selama payah bayi sering dalam keadaan telanjang, maksudnya agar memudahkan pengawasan pernapasannya). Bila bayi kedinginan juga dapat menyebabkan apnea
  1. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan refleks mengisap pada bayi yang tidak adekuat, kemungkinan dimanifastasikan dengan :
  • Ketidak mampuan dalam menelan
  • Mulut mencucut

Intervensi Keperawatan

  • Kaji kemampuan bayi dalam menetek
  • Menganjurkan pada Ibu agar tetap memberikan ASI
  • Memberikan terapi intra vena agar kebutuhan cairan bayi dapat terpenuhi

3.    Kurang pengetahuan orang tua tentang  kondisi, prognosis dan tindakan keperawatan berhubungan dengan kurangnya informasi, kemungkinan dibuktikan oleh :

  • Pertanyaan/meminta informasi, mengungkapkan masalah, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.

Intervensi Keperawtan

  • Kaji pengetahuan tentang proses tindakan terhadap penyakit
  • Berikan penjelasan kepada orang tua bahwa bayinya menderita sakit berat atau bahaya maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus.
  • Berikan penjelasan kepada orang tua, bila ibunya hamil lagi agar minta suntikan pencegahan tetanus.
  1. D.    Implementasi

Melaksanakan/ melakukan tindakan yang telah direncanakan sesuai dengan intervensi untuk kesembuhan dan meningkatkan kesehatan klien.

  1. E.     Evaluasi

Pada tahap ini perawat akan mengevaluasi atau melakukan pemeriksaan kembali untuk mengetahui sejauh manakah perkembangan terhadap pasiennya serta untuk mengetahui apakah intervensi dan implementtasi telah tercapai atau belum.

Yang terdiri dari SOAP( subjek,objektif,analisa dan plening)

BAB IV

PENUTUP

 

KESIMPULAN

Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat

Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).

 

SARAN

Dari makalah diatas penulis menyarankan agar perawat juga memfromosikan/mengimformasikan kepada masyarakat dan pasien tentang apa penyebab dan apa bahaya yang akan ditimbulkan oleh penyakit tetanus neonatorum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

MARCELUS SIMADIBARTA K.ilmu penyakit dalam.jilid III. 2006

Ilmu penyakit dalam. Fakultas kedokteranUI. 2005

Keperawatan medical bedah 1. 2001. Salemba medika

http.penyakit tetanus neonatorum.pdf.com

BAB I

PENDAHULUAN

 

LATAR BELAKANG

            Tumor gaster terdiri dari tumor jinak dan tumor ganas. Tumor jinak lebidh jarang dari pada tumor ganas, 1 berbanding 10. Tumor ganas(CA lambung) yang banyak terjadi adalah adenokarsinoma dan tumor ini menempati urutan ketiga tumor salurn cerna di Amerika serikat setelah tumor pangkreas.

Walaupun angka kematiannya di amerika serikat sudah menurun sebanyak 30% tetapi berbanding terbalik dengan Indonesia karena tumor ganas(CA lambung) ini masih banyak terjadi di Indonesia yang menyebabkan angka kematian yang harus di tanggulangi dengan baik.

TUJUAN

Tujuan umum

  • Untuk mengetahui dan lebih memahami  apa yang dimaksud dengan CA gaster
  • Untuk memenuhi tugas keperawatan medical bedah dalam system pencernaan

Tujuan khusus

  • Untuk mengetahui etiologi dari CA lambung
  • Untuk mengetahui perjalan penyakit dari CA lambung
  • Untuk memahami dan mengaplikasikan bagaimana cara pemberian askep pada pasien dengan CA lambung mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi keperawatan.

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

  1. A.    DEFENISI
  • Kanker lambung atau tumor malignan perut adalah  suatu adeno kararsinoma .kanker ini menyebar ke paru –paru,nodus limfe dan hepar.faktor risiko meliputi gastritis atrofik kronis dengan metaplasia usus anemia pernisiosa ,konsumsi alkohol tinggi dan merokok .(Nettina sandra ,pedoman praktik keperawatan )
  • Kanker lambung adalah salah satu penyakit pembunuh manusia dengan jumlah kematian 14.700 setiap tahun. Kanker lambung terjadi pada kurvatura kecil atau antrum lambung dan adenokarsinoma. Factor lain selain makanan tinggi asam yang menyebabkan insiden kanker lambung mencakup Inflamasi lambung, anemia pernisiosa, aklorhidria ( tidak adanya hidroklorida ). Ulkus lambung, bakteri H, plylori, dan keturunan. ( Suzanne C. Smeltzer )
  • kanker lambung merupakan bentuk neoplasma maligna gastrointestinal.
    Karsinoma lambung merupakan bentuk neoplasma lambung yang paling sering terjadi dan menyebabkan sekitar 2,6% dari semua kematian akibat kanker (Cancer Facts and Figures, 1991)
  1. B.     ETIOLOGI

Menurut Julius (Penerbit IPD)

  • Helyko bakteri fylori
  • Diet tinggi nitrat(nitrosamine sebagai bahan pengawet)
  • Makana yang diasap dan diasinkan
  • perokok

Diet tinggi makanan asam dan kurang buah-buahan dan sayuran dapat meningkatkan resiko terhadap kanker lambung. Faktor lain yang berhubungan dengan Insiden kanker lambung mencakup inflamasi lambung, anemia pernisiosa, aklorhidria ( tidak adanya asam hidroklorida ), ulkus lambung bakteri H, pylori, dan keturunan.

Kanker lambung sering dimulai pada sisi dimana lapisan lambung meradang. Tetapi banyak ahli

yakin bahwa peradangan adalah akibat dari kanker lambung, bukan sebagai penyebab kanker.

Beberapa ahli berpendapat, ulkus gastrikum bisa menyebabkan kanker. Tapi kebanyakan penderita.Ulkus dan kanker lambung, kemungkinan sudah mengidap kanker yang tidak terdeteksi sebelum tukaknya terbentuk. Helicobacter pylori, kuman yang memegang peranan penting dalam ulkus duodenalis, juga bisa berperan dalam terjadinya kanker lambung.Poliplambung, suatu pertumbuhan jinak yang berbentuk bundar, yang tumbuh ke dalam rongga

lambung, diduga merupakan pertanda kanker dan oleh karena itu polip selalu diangkat.

Kanker mungkin terjadi bersamaan dengan jenis polip tertentu, yaitu polip yang lebih besar dari 1,8 cm atau polip yang jumlahnya lebih dari 1. Faktor makanan tertentu diperkirakan berperan dalam pertumbuhan kanker lambung.

Faktor-faktor ini meliputi :

  • asupan garam yang tinggi
  • asupan karbohidrat yang tinggi
  • asupan bahan pengawet (nitrat) yang tinggi
  • asupan sayuran hijau dan buah yang kurang.

 

  1. C.    ANATOMI

                        Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di atas abdomen atas tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung berbentuk tabung-J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah alpukat raksasa. Kapasitas normal lambung 1 sampai 2 L. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus,korpus dan antrum pilorikum atau pylorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekunagan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan.

Sfingter pylorus memiliki arti klinis yang penting karna dapat mengalami stenosis (penyempitan pylorus yang menyumabat) sebagai komplikasi dari tukak lambung. Abnormalitas sfingter pylorus dapat pula tejadi pada bayi. Stenosis pylorus atau pilorospasme terjadi bila serat-serat di otot sekelilingnya mengalami hipetrofi atau spasme sehingga spingter gagal berlelaksasi untuk mengalirkan makanan dari lambung ke dalam duodenum.

Tunika serosa atau bagian dari peritonium viseralis. Dua lapiasa peritonium viseralis menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum dan terus memanjang ke arah hati, membentuk omentum minus.

  1. D.    KLASIFIKASI

Ada 3 bentuk umum karsinoma atau kanker lambung, yaitu :

  • Karsinoma ulseratif merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan harus dibedakan dari ulkus peptikum jinak.
  • Karsinoma polipoid tampak seperti kembang kol yang menonjol ke dalam lumen dan dapat berasal dari polip adenomatosa
  • Karsinoma infiltratif dapat menembus seluruh ketebalan dinding lambung
  1. E.     GEJALA KLINIS
    Pada tahap awal kanker lambung gejala mungkin tidak ada. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa gejala awal, seperti nyeri yang hilang dengan antasida, dapat menyerupai gejala pada pasien ulkus benigna. Gejala penyakit progresif dapat meliputi:
  • Nyeri pada epigastrium
  • Rasa tidak enak/nyaman pada perut (abdominal discomfort)
  •  Nausea (mual)
  •  Vomiting (muntah)
  •  Anorexia (kehilangan selera makan)
  •  Berat badan menurun (weight loss)
  • Perdarahan (hemorrhage)
  1. G.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
  • Endoskopi untuk biopsi dan pencucian sitologis adalah pemeriksaan diagnostik umum.
  • Pemeriksaan sinar-X terhadap saluran GI dengan berbagai posisi(telentang dan tengkurap)
  • Pemindai tomografi komputer, pemindai tulang, dan pemindai hepar dilakukan dalam menentukan luasnya metastasis.
  • Pemeriksaan darah tinja karena biasanya pada tumor ganas gaster ini sering didapatkan pendarahan.
  • Sitology merupakan pemeriksaan pendukung dari endoskopi dan biopsy.

 

  1. H.    KOMPLIKASI
  • Hematemesis / muntah darah
  • Adhesi /terjadinya perlengketan jika tumor mengenai dinding lambung.
  • Obstruksi dapat terjadi pada bagian bawah bawah lambung dekat daerah filorus
  1. I.       PENGOBATAN
  • Kemotrapi
  • Terapi radisi
  • Pembedahan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

ASKEP TEORITIS

 

  1. A.    PENGKAJIAN

Pada tahap ini selalu dimulai dengan pengkajian terhadap identitas klien yang meliputi: Nama, jenis kelamin, NO.mr, tanggal masuk, agama, pekerjaan serta diagnose mediknya. Dan pengkajian pada penderita kangker lambung ini lebih diprioritaskan terhadap manifestasi klinisnya seperti:

  • Perawat mendapatkan riwayat diet dari pasien yang memfokuskan pada penyebab penyakit seperti masukan tinggi makanan asap atau diasinkan
  • Apakah masukan buah dan sayuran yang rendah
  • Apakah pasien mengalami penurunan BB, jika ya seberapa banyak.
  • Apakah klien tidak nafsu makan?
  • Apakah BAB klien berdarah kehitaman?
  • Apakah pasien perokok? Jika ya seberapa banyak sehari dan berapa lama?
  • Apakah pasien mengeluhkan ketidaknyamanan lambung selama atau setelah merokok?
  • Apakah pasien minum alcohol? Jika ya seberapa banyak?
  • Perawat menanyakan pada pasien bila ada riwayat kleuarga tentang kanker. Pemeriksaan fisik
  • Bagaimana keadaan umun klien, apakah lemah
  • Apakah mata klien terlihat cekung karena volume darah kurang
  • Apakah mata klien ikterik atau tidak
  • Apakah konjungtiva klien anemis
  • Apakah abdomen pasien asites
  • Apkah terdapat massa pada abdomen saat di palpasi
  • Bagaimana dengan peristaltic usus
  • Apakah terdapat pembesaran pada hati
  • Apakah bunyi abdomen pekak
  • Apakah nyeri pada daera epigastrium
  1. B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
  • Nyeri berhubungan dengan proses pertumbuhan sel-sel kanker
  • perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak nafsu makan
  • Intoleransi beraktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

 

  1. C.    INTERVENSI KEPERAWATAN

 

                     Dx 1             :  Nyeri berhubungan dengan proses pertumbuhan sel-sel kanker

                     Tujuan        : Nyeri berkurang sampai hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan

                     KH               : Nyeri berkurang sampai dengan hilang

Intervensi

Rasional

  • Kaji karakteristik nyeri, lokasi, frekuensi
  • Kaji faktor penyebab timbul nyeri (takut , marah, cemas)
  • Ajarkan tekhnik relaksasi tarik napas dalam
  • Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik

 

  • Mengetahui tingkat nyeri sebagai evaluasi untuk intervensi selanjutnya.
  • Dengan mengetahui faktor penyebab nyeri menetukan tindakan untuk mengurangi nyeri
  • Tekhnik relasasi dapat mengatasi rasa nyeri
  • Analgetik efektif untuk mengatasi nyeri

 

 

 

 

DX 2   : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah tidak nafsu makan.

Tujuan : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi setelah dilakukan perawatan

KH      : nutrisi klien terpenuhi,mual berkurang  sampai dengan hilang

 

Intervensi

Rasional

  • Hidangkan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan hangat
  • Kaji kebiasaan makan klien

 

  • Ajarkan tekhnik relaksasi yaitu tarik napas dalam
  • Timbang berat badan bila memungkinkan
  • Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin
  • Makanan yang hangat menambah nafsu makan
  • Jenis makan yang disukai akan membantu meningkatkan nafsu makan klien
  • Tarik napas dalam membantu merelaksasikan dan mengurangi mual
  • Untuk mengetahui kehilangan berat badan
  • Mencegah kekurangan karena penurunan absrobsi vitamin larut dalam lemak

 

 

 

DX

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DX 3                                         

                                                                                                                                                                   

 

 

 

 

 

 

 

DX 3                                          DX 3            : Intoleransi beraktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

                                          Tujuan        : Intoleransi aktivitas setelah dilakukan tindakan keperawatan

                                             KH               :  Klien menunjukkan peningkatan toleransi dalam beraktivitas yang ditandai dengan  tidak mengeluh lemas, klien beraktivitas secara bertahap.

 

Intervensi

Rasional

  • Sediakan waktu istirahat yang cukup untuk istrahat
  • Kaji keluhan klien saat beraktivitas
  • Kaji kemampuan klien dalam aktivitas
  •   Bantu memenuhi kebutuhan klien
  • Istrahat akan memberikan energi yang cukup dan membantu dalam proses penyembuhan
  • Mengidentifikasi klien dalam beraktivitas
  • Menentukan aktivitas yang boleh dilakukan
  • Terpenuhinya kebutuhan klien.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

Kesimpulan

Kanker lambung atau kanker lambung merupakan bentuk neoplasma maligna gastrointestinal. Karsinoma lambung merupakan bentuk neoplasma lambung yang paling sering terjadi dan menyebabkan sekitar 2,6% dari semua kematian akibat kanker (Cancer Facts and Figures, 1991). Oleh sebab itu penyakit CA lambung ini sangatlah berbahaya dan kita harus meminimalkan keadaan ini.

            Saran

Oleh sebab itu sebagai calon seorang perawat kita semua harus mampu mencegah dan menginformasikan pada masyarakat tentang bahaya,penyebab serta pencetus penyakit ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kebanyakan tetanus neonatorum terdapat pada bayi yang baru lahir, Neonatorum yang tidak dirawat, angka mendekati 100%. Angka kematian kasus Tetanus Neonatorum yang dirawat di rumah sakit di Indonesia bervariasi dengan kisaran 10,8 – 55%.

Di amerika penyakit ini meningkat 5 % pertahunnya insidennya 0.8 % penderita ini meninggal dunia sejak kecil dan 85% diantaranya bertahan hidup sampai dewasa muda, sedangkan di Indonesia angka kejadiannya masih begitu tinngi karena masyarakat kurang mengetahui tentang penyebabnya dan penyakit ini 31% menjadi penyebab utama meninggal dunia pada bayi.

Tujuan

Tujuan umum

Untuk memenuhi tugas keperawatan medical bedah dan memahami bagaimana cara perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan penyakit jantung congenital.

Tujuan khusus

1.      Untuk mengetahui cara mencegah penyakit tetanus neonatorum

2.      Mengetahui patofisiologi dan memberikan askep pada  penyakit tetanus neonatorum

3.      Memberikan penjelasan tentang bahaya yang di timbulkan penyakit pada tetanus neonatorun

4.      Agar mahasiswa dan  masyarakat memahami penyakit dan cara pencegahan penyakit tetanus neonatorum

 

 

 

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

TETANUS NEONATORUM

A.   DEFINISI

Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat

Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).

Tetanus neonatorum juga terjadi pada anak yang dilahirkan oleh yang tidak di imunisasi secara adekuat terutama setelah perawatan tali pusar yang tidak steril.

 

B.   INSIDEN

Kebanyakan tetanus neonatorum terdapat pada bayi yang baru lahir, Neonatorum yang tidak dirawat, angka mendekati 100%. Angka kematian kasus Tetanus Neonatorum yang dirawat di rumah sakit di Indonesia bervariasi dengan kisaran 10,8 – 55%.

C.   ETIOLOGI

  • Clostridiumtetani
  • Pemotongan tali pusat bayi menggunakan alat yang tidak bersih atau steril.
  • Luka tali pusat kotor atau tdak bersih.
  • Ibu hamil tidak mendapat imunisasi TT lengkap.

 

D.     MASA INKUBASI

Tetanus Neonatorum ini terjadi selama 5-14 hari. Pada umumnya Tetanus Neonatorum ini lebih cepat dan penyakit berlangsung lebih berat daripada Tetanus pada anak.

E.   FATOFISIOLOGI

Virus yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobit beruba menjadi bentuk fegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksin dalam jaringan yang anaerobit ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya pus, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra aksonal toksin disalurkan ke sel syaraf yang memakan waktu sesuai dengan panjang aksonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel syaraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sum-sum tulang belakang toksin menjalar dari sel syaraf lower motorneuron keluksinafs dari spinal inhibitorineurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitoritransmiter dan menimbulkan kekakuan.

F.    MANIFESTASI KLINIK

  • Bayi yang semula bisa menetek dengan baik tiba-tiba tidak bisa.
  • Mulut mencucu seperti mulut ikan.
  • Kesukaran menelan ASI
  • Iritabilitas(motilitas usus yang patologis sehingga timbul gejala tidak enak/sakit pada perut)
  • Suhu tubuh dapat meningkat
  • Mudah kejang

G.  PENATALAKSANAAN

  • Di berikan cairan melalui intravena
  • Obat ATS 10.000 untuk perhari di berkan selama 2hari berturut-turut dengan IM untuk neonatus bisa di berikan IV apa bila tersedia dapat di berikan human tetanus  immununoglobulin(HTIG) 3000-6000IU.im.
  • Ampisilin 100mg/kg/BB hari di bagi 4dosis
  • Tali pusat dibersihkan atau dikompres dengan alkohol betadine 10%
  • Memberikan suntikan anti kejang, obat yang dipakai ialah kombinasi fenobarbital dan largaktil. Fenobarbital dapat diberikan mula-mula 30-60 mg parenteral, kemudian dilanjutkan dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat diberikan bersama luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari. Kombinasi yang lain ialah Kloralhidrat yang diberikan lewat anus.

H.  PENCEGAHAN

  • Imunisasi aktif
  • Perawatan tali pusat yang baik
  • Pemberian toksoid tetanus pada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ke 3
  • Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A.   PENGKAJIAN

1.      Identitas

2.      Riwayat kerawatan Antenatal,Itranatal,Posnatal

3.      Pemeriksaan fisik

  • Keadaan umum:lemeh,sulit menelan kejang
  • Kepala:posisi menengadah,kaku kuduk,dahi menkerut,mata agak tertutup,sudut mulut keluar dan kebawah
  • Mulut : kekakuan mulut, mengatupnya rahang seperti mulut ikan
  • Dada:Simestrik,kekakuan otot penyangga,rongga dada,otot punggung.
  • Abdomen:Dinding perut seperti papan
  • Kulit:turgor kurang,pucat,kebiruan
  • Estremitas:pleksi pada tangan,ekstensi pada tungkai,hipertoni,sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.     

B.   DIAGNOSA KEPERAWATAN

  1. 1.      Ketidak efektifan jalan nafas b.d kelemahan oto respirasidimanifestasikan kekakuan otot leher, otot punggung dan sesak nafas
  2. 2.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d reflex menghisap pada bayi yang btidak adekuat dimanifestasikan dengan ketidak mampuan dalam menelan.
  3. Kurang pengetahuan orang tua tentang  kondisi, prognosis dan tindakan keperawatan berhubungan dengan kurangnya informasi, kemungkinan dibuktikan oleh :

Pertanyaan/meminta informasi, mengungkapkan masalah, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

  1. Ketidak efektifan jalan napas berhubungan dengan kelemahan otot-otot respirasi, dimanifestasikan dengan :
  • Kekakuan otot punggung, otot leher
  • Sesak napas

Intervensi Keperawatan

  • Kaji frekwensi dan pola napas
  • Perhatikan adanya apneu dan perubahan frekwensi jantung, tonus otot dan warna kulit
  • Atur posisi bayi dengan kepala ekstensi
  • Berikan oksigan 1-2 liter/menit. Jika sedang terjadi kejang karena sianosis bertambah berat O2 diberikan lebih tinggi dapat sampai 4 liter/menit (jika kejang berhenti turunkan lagi)
  • Bila terjadi kejang, pasang sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang dan juga memudahkan penghisapan lendir bila ada, lebih baik dipasang guedel (selama masih banyak kejang guedel atau sudip lidah dipasang terus)
  • Sering isap lendir yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat lendir pada mulut bayi
  • Observasi tanda vital secara kontinu setiap ½ jam dan catat secara cermat, pasien Tetanus Neonatorum karena mendapatkan anti Konvulsan terus kemungkinan sewaktu-waktu dapat terjadi apnea
  • Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang selubung tempat tidur/kain di sekeliling tempat tidur karena selama payah bayi sering dalam keadaan telanjang, maksudnya agar memudahkan pengawasan pernapasannya). Bila bayi kedinginan juga dapat menyebabkan apnea
  1. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan refleks mengisap pada bayi yang tidak adekuat, kemungkinan dimanifastasikan dengan :
  • Ketidak mampuan dalam menelan
  • Mulut mencucut

Intervensi Keperawatan

  • Kaji kemampuan bayi dalam menetek
  • Menganjurkan pada Ibu agar tetap memberikan ASI
  • Memberikan terapi intra vena agar kebutuhan cairan bayi dapat terpenuhi

3.    Kurang pengetahuan orang tua tentang  kondisi, prognosis dan tindakan keperawatan berhubungan dengan kurangnya informasi, kemungkinan dibuktikan oleh :

  • Pertanyaan/meminta informasi, mengungkapkan masalah, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.

Intervensi Keperawtan

  • Kaji pengetahuan tentang proses tindakan terhadap penyakit
  • Berikan penjelasan kepada orang tua bahwa bayinya menderita sakit berat atau bahaya maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus.
  • Berikan penjelasan kepada orang tua, bila ibunya hamil lagi agar minta suntikan pencegahan tetanus.

 

  1. D.    Implementasi

Melaksanakan/ melakukan tindakan yang telah direncanakan sesuai dengan intervensi untuk kesembuhan dan meningkatkan kesehatan klien.

  1. E.     Evaluasi

Pada tahap ini perawat akan mengevaluasi atau melakukan pemeriksaan kembali untuk mengetahui sejauh manakah perkembangan terhadap pasiennya serta untuk mengetahui apakah intervensi dan implementtasi telah tercapai atau belum.

Yang terdiri dari SOAP( subjek,objektif,analisa dan plening)

 

 

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

KESIMPULAN

Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat

Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).

 

SARAN

Dari makalah diatas penulis menyarankan agar perawat juga memfromosikan/mengimformasikan kepada masyarakat dan pasien tentang apa penyebab dan apa bahaya yang akan ditimbulkan oleh penyakit tetanus neonatorum.

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kebanyakan tetanus neonatorum terdapat pada bayi yang baru lahir, Neonatorum yang tidak dirawat, angka mendekati 100%. Angka kematian kasus Tetanus Neonatorum yang dirawat di rumah sakit di Indonesia bervariasi dengan kisaran 10,8 – 55%.

Di amerika penyakit ini meningkat 5 % pertahunnya insidennya 0.8 % penderita ini meninggal dunia sejak kecil dan 85% diantaranya bertahan hidup sampai dewasa muda, sedangkan di Indonesia angka kejadiannya masih begitu tinngi karena masyarakat kurang mengetahui tentang penyebabnya dan penyakit ini 31% menjadi penyebab utama meninggal dunia pada bayi.

Tujuan

Tujuan umum

Untuk memenuhi tugas keperawatan medical bedah dan memahami bagaimana cara perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan penyakit jantung congenital.

Tujuan khusus

1.      Untuk mengetahui cara mencegah penyakit tetanus neonatorum

2.      Mengetahui patofisiologi dan memberikan askep pada  penyakit tetanus neonatorum

3.      Memberikan penjelasan tentang bahaya yang di timbulkan penyakit pada tetanus neonatorun

4.      Agar mahasiswa dan  masyarakat memahami penyakit dan cara pencegahan penyakit tetanus neonatorum

 

 

 

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

TETANUS NEONATORUM

A.   DEFINISI

Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat

Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).

Tetanus neonatorum juga terjadi pada anak yang dilahirkan oleh yang tidak di imunisasi secara adekuat terutama setelah perawatan tali pusar yang tidak steril.

 

B.   INSIDEN

Kebanyakan tetanus neonatorum terdapat pada bayi yang baru lahir, Neonatorum yang tidak dirawat, angka mendekati 100%. Angka kematian kasus Tetanus Neonatorum yang dirawat di rumah sakit di Indonesia bervariasi dengan kisaran 10,8 – 55%.

C.   ETIOLOGI

  • Clostridiumtetani
  • Pemotongan tali pusat bayi menggunakan alat yang tidak bersih atau steril.
  • Luka tali pusat kotor atau tdak bersih.
  • Ibu hamil tidak mendapat imunisasi TT lengkap.

 

D.     MASA INKUBASI

Tetanus Neonatorum ini terjadi selama 5-14 hari. Pada umumnya Tetanus Neonatorum ini lebih cepat dan penyakit berlangsung lebih berat daripada Tetanus pada anak.

E.   FATOFISIOLOGI

Virus yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobit beruba menjadi bentuk fegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksin dalam jaringan yang anaerobit ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya pus, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra aksonal toksin disalurkan ke sel syaraf yang memakan waktu sesuai dengan panjang aksonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel syaraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sum-sum tulang belakang toksin menjalar dari sel syaraf lower motorneuron keluksinafs dari spinal inhibitorineurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitoritransmiter dan menimbulkan kekakuan.

F.    MANIFESTASI KLINIK

  • Bayi yang semula bisa menetek dengan baik tiba-tiba tidak bisa.
  • Mulut mencucu seperti mulut ikan.
  • Kesukaran menelan ASI
  • Iritabilitas(motilitas usus yang patologis sehingga timbul gejala tidak enak/sakit pada perut)
  • Suhu tubuh dapat meningkat
  • Mudah kejang

G.  PENATALAKSANAAN

  • Di berikan cairan melalui intravena
  • Obat ATS 10.000 untuk perhari di berkan selama 2hari berturut-turut dengan IM untuk neonatus bisa di berikan IV apa bila tersedia dapat di berikan human tetanus  immununoglobulin(HTIG) 3000-6000IU.im.
  • Ampisilin 100mg/kg/BB hari di bagi 4dosis
  • Tali pusat dibersihkan atau dikompres dengan alkohol betadine 10%
  • Memberikan suntikan anti kejang, obat yang dipakai ialah kombinasi fenobarbital dan largaktil. Fenobarbital dapat diberikan mula-mula 30-60 mg parenteral, kemudian dilanjutkan dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat diberikan bersama luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari. Kombinasi yang lain ialah Kloralhidrat yang diberikan lewat anus.

H.  PENCEGAHAN

  • Imunisasi aktif
  • Perawatan tali pusat yang baik
  • Pemberian toksoid tetanus pada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ke 3
  • Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A.   PENGKAJIAN

1.      Identitas

2.      Riwayat kerawatan Antenatal,Itranatal,Posnatal

3.      Pemeriksaan fisik

  • Keadaan umum:lemeh,sulit menelan kejang
  • Kepala:posisi menengadah,kaku kuduk,dahi menkerut,mata agak tertutup,sudut mulut keluar dan kebawah
  • Mulut : kekakuan mulut, mengatupnya rahang seperti mulut ikan
  • Dada:Simestrik,kekakuan otot penyangga,rongga dada,otot punggung.
  • Abdomen:Dinding perut seperti papan
  • Kulit:turgor kurang,pucat,kebiruan
  • Estremitas:pleksi pada tangan,ekstensi pada tungkai,hipertoni,sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.     

B.   DIAGNOSA KEPERAWATAN

  1. 1.      Ketidak efektifan jalan nafas b.d kelemahan oto respirasidimanifestasikan kekakuan otot leher, otot punggung dan sesak nafas
  2. 2.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d reflex menghisap pada bayi yang btidak adekuat dimanifestasikan dengan ketidak mampuan dalam menelan.
  3. Kurang pengetahuan orang tua tentang  kondisi, prognosis dan tindakan keperawatan berhubungan dengan kurangnya informasi, kemungkinan dibuktikan oleh :

Pertanyaan/meminta informasi, mengungkapkan masalah, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

  1. Ketidak efektifan jalan napas berhubungan dengan kelemahan otot-otot respirasi, dimanifestasikan dengan :
  • Kekakuan otot punggung, otot leher
  • Sesak napas

Intervensi Keperawatan

  • Kaji frekwensi dan pola napas
  • Perhatikan adanya apneu dan perubahan frekwensi jantung, tonus otot dan warna kulit
  • Atur posisi bayi dengan kepala ekstensi
  • Berikan oksigan 1-2 liter/menit. Jika sedang terjadi kejang karena sianosis bertambah berat O2 diberikan lebih tinggi dapat sampai 4 liter/menit (jika kejang berhenti turunkan lagi)
  • Bila terjadi kejang, pasang sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang dan juga memudahkan penghisapan lendir bila ada, lebih baik dipasang guedel (selama masih banyak kejang guedel atau sudip lidah dipasang terus)
  • Sering isap lendir yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat lendir pada mulut bayi
  • Observasi tanda vital secara kontinu setiap ½ jam dan catat secara cermat, pasien Tetanus Neonatorum karena mendapatkan anti Konvulsan terus kemungkinan sewaktu-waktu dapat terjadi apnea
  • Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang selubung tempat tidur/kain di sekeliling tempat tidur karena selama payah bayi sering dalam keadaan telanjang, maksudnya agar memudahkan pengawasan pernapasannya). Bila bayi kedinginan juga dapat menyebabkan apnea
  1. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan refleks mengisap pada bayi yang tidak adekuat, kemungkinan dimanifastasikan dengan :
  • Ketidak mampuan dalam menelan
  • Mulut mencucut

Intervensi Keperawatan

  • Kaji kemampuan bayi dalam menetek
  • Menganjurkan pada Ibu agar tetap memberikan ASI
  • Memberikan terapi intra vena agar kebutuhan cairan bayi dapat terpenuhi

3.    Kurang pengetahuan orang tua tentang  kondisi, prognosis dan tindakan keperawatan berhubungan dengan kurangnya informasi, kemungkinan dibuktikan oleh :

  • Pertanyaan/meminta informasi, mengungkapkan masalah, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.

Intervensi Keperawtan

  • Kaji pengetahuan tentang proses tindakan terhadap penyakit
  • Berikan penjelasan kepada orang tua bahwa bayinya menderita sakit berat atau bahaya maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus.
  • Berikan penjelasan kepada orang tua, bila ibunya hamil lagi agar minta suntikan pencegahan tetanus.

 

  1. D.    Implementasi

Melaksanakan/ melakukan tindakan yang telah direncanakan sesuai dengan intervensi untuk kesembuhan dan meningkatkan kesehatan klien.

  1. E.     Evaluasi

Pada tahap ini perawat akan mengevaluasi atau melakukan pemeriksaan kembali untuk mengetahui sejauh manakah perkembangan terhadap pasiennya serta untuk mengetahui apakah intervensi dan implementtasi telah tercapai atau belum.

Yang terdiri dari SOAP( subjek,objektif,analisa dan plening)

 

 

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

KESIMPULAN

Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat

Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).

 

SARAN

Dari makalah diatas penulis menyarankan agar perawat juga memfromosikan/mengimformasikan kepada masyarakat dan pasien tentang apa penyebab dan apa bahaya yang akan ditimbulkan oleh penyakit tetanus neonatorum.

 

 

 

 

 

FRAKTURI. PENGE…

FRAKTUR

I. PENGERTIAN

Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).

Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).

Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI, 1995:543)

Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang disebabkan oleh kekerasan langsung, biasanya kominuta dan disertai oleh fraktur lain atau dislokasi anterior dari sendi tersebut (FKUI, 1995:553).

II. ETIOLOGI
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

III. KLASIFIKASI FRAKTUR FEMUR
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1) Derajat I
– luka kurang dari 1 cm
– kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
– fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
– Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
– Laserasi lebih dari 1 cm
– Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
– Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
• Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran (bergeser dari posisi normal).
d. Fraktur incomplete
• Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
e. Jenis khusus fraktur
a) Bentuk garis patah
1) Garis patah melintang
2) Garis pata obliq
3) Garis patah spiral
4) Fraktur kompresi
5) Fraktur avulsi
b) Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling berhubungan
3) Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan.
c) Bergeser-tidak bergeser
 Fraktur tidak bergeser garis patali kompli tetapi kedua fragmen tidak bergeser.ü
 Fraktur bergeser, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut di lokasi fragmen (Smeltzer, 2001:2357).ü

IV. PATOFISIOLOGI
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
1. Fase hematum
• Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
• Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
• Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
• Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
• Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
• Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
• Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
• Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
• Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
• Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan oksifitas osteoblast dan osteuctas (Black, 1993 : 19 ).

V. TANDA DAN GEJALA
1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi (Black, 1993 : 199).

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rontgen
 Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung-
 Mengetahui tempat dan type fraktur-
Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati (Doenges, 1999 : 76 ).

VII. PENATALAKSANAAN
1. Fraktur Reduction
– Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan kembali secara manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi sebelumnya.
 Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang- terusan penjajaran insisi pembedahan, seringkali memasukkan internal viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang intramedulasi, dan paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Peralatan traksi :
o Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
o Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka panjang.
2. Fraktur Immobilisasi
 Pembalutan (gips)-
 Eksternal Fiksasi-
 Internal Fiksasi-
 Pemilihan Fraksi-
3. Fraksi terbuka
 Pembedahan debridement dan irigrasi-
 Imunisasi tetanus-
 Terapi antibiotic prophylactic-
 Immobilisasi (Smeltzer, 2001).-

MANAJEMEN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi :
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.

III. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI

Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : – Nyeri berkurang atau hilang
– Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.

2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : – perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
– pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
– Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : – tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
– luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
– Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : – penampilan yang seimbang..
– melakukan pergerakkan dan perpindahan.
– mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
    0 = mandiri penuh
    1 = memerlukan alat Bantu.
    2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
    3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
    4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
g. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
h. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
i. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
j. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
k. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : – tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
– luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
– Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil : – melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
– memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

IV. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M. 1993. Medical Surgical Nursing. W.B Sainders Company : Philadelpia
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
E. Oerswari 1989, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia. Jakarta
Nasrul, Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara : Jakart

PENGKAJIAN KEPERAWATAN PADA ANAK

1. RIWAYAT KESEHATAN
A. Identitas Klien
1). Nama
2). Alamat
3). Nomor telepon
4). Tempat tanggal lahir / usia
5). Suku
6). Jenis Kelamin
7). Agama
8). Tanggal Pengkajian
B. Identitas Penanggung jawab
1). Nama
2). Alamat
3). Usia
4). Hubungan dengan klien
C. Keluhan Utama
Keluhan yang paling dirasakan oleh klien. Alasan utama klien untuk mencari bantuan profesional kesehatan.
D. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat penyakit yang diderita klien saat ini, dimulai dari awal keluhan muncul sampai saat pengkajian, disertai keluhan utama klien. Sajikan informasi dalam urutan sesuai dengan kronologinya, diruntut satu persatu dari awitan sampai saat pengkajian. Fokuskan pada alasan mencari bantuan sekarang terutama apabila masalah telah ada untuk beberapa lama.
1). Awitan
a. Tanggal awitan
b. Sifat Awitan
c. Faktor pencetus dan faktor predisposisi yang berkaitan dengan awitan
2). Karakteristik
a. Karakter (Kualitas, kuantitas, konsistensi, dll)
b. Lokasi dan radiasi
c. Intensitas dan keparahan
d. Frekuensi
e. Faktor yang memperberat dan menurunkan
f. Gejala yang berhubungan
3). Perjalanan sejak awitan
a. Insiden (serangan akut tunggal, serangan akut berulang, kejadian tiap hari, kejadian periodik, episode kronis)
b. Kemajuan (membaik atau memburuk)
c. Terapi yang sudah dilakukan dan Efek terapi
E. Riwayat Masa Lalu
Untuk mendapatkan profil penyakit, cedera, atau prosedur pembedahan yang dialami klien sebelumnya.
1). Kehamilan (Ibu)
a. Jumlah (gravida)
b. Hasil (paritas)
c. Kesehatan selama kehamilan
d. Obat-obatan yang digunakan.
2). Persalinan
a. Durasi persalinan
b. Tipe melahirkan
c. Tempat melahirkan
d. Obat-obatan
3). Kelahiran
a. Berat dan panjang badan
b. Waktu peningkatan berat badan lahir
c. Kondisi kesehatan
d. Skor Apgar
e. Adanya anomali kongenital
f. Tanggal keluar dari perawatan
4). Penyakit, operasi, atau cedera sebelumnya
a. Awian, gejala, perjalanan, terinasi
b. Kekambuhan komplikasi
c. Insiden penyakit pada anggota keluarga lain atau dikomunitas
d. Respon emosi pada hospitalisasi sebelumnya
e. Kejadian dan sifat cedera.
5). Alergi
a. Hay fever, asma, dan eksema
b. Reaksi tak umum terhadap makanan, obat, binatang, tanaman, atau produk rumah tangga.
6). Genogram
7). Obat-obatan
Nama, dosis, jadwal, durasi, dan alasan pemberian.
8). Imunisasi
a. Nama, Jumlah dosis, usia saat diberikan
b. Kekambuhan reaksi
9). Pertumbuhan dan perkembangan
a. Berat badan lahir, 6 bulan, 1 tahun, dan saat ini.
b. Gigi geligi (Usia pertumbuhan, tanggal gigi, jumlah, masalah dengan gigi)
c. Usia kontrol kepala, duduk tanpa dukungan, berjalan, kata-kata pertama
d. Tingkatan sekolah saat ini, prestasi di sekolah
e. Pemeriksaan perkembangan dengan Denver II
2. PENGKAJIAN FISIK (Head to toe)
A. Keadaan umum: kondisi klien secara umum, keletihan, penambahan atau penurunan berat badan, menggigil, kemampuian umum menjalankan aktivitas, dll.
B. Antropometri
1). Tinggi badan/panjang badan
a. Panjang badan digunakan pada anak dibawah 36 bulan: tempatkan anak telentang dengan kepala digaris tengah, pegang lutut dan dorong dengan perlahan kearah meja agar kaki ekstensi penuh, ukur panjang badan anak dari verteks (puncak) kepala sampai tumit kaki (jari kaki mengarah keatas).
b. Tinggi badan digunakan untuk anak diatas 36 bulan: pengukuran dilakukan dengan berdiri, lepaskan kaus kaki dan sepatu, minta anak berdiri tegak, punggung tegak, kepala digaris tengah, mata melihat lurus kedepan, ukur dari puncak kepala sampai permukaan berdiri.
2). Berat badan
a. Timbang bayi dan anak kecil telanjang diatas skala tipe platform, lindung bayi dengan menempatkan tangan diatas tubuh untuk mencegah jatuh.
b. Timbang anak yang lebih besar dengan memakai pakaian dalam, tanpa sepatu pada timbangan tegak.
c. Periksa skala timbangan sebelum digunakan.
d. Beri alas kain pada timbangan tipe platform.

3). Lingkar kepala
a. Ukur dengan kertas atau pita tembaga dari puncak alis mata dan pinna telinga ketonjolan oksipital tengkorak
b. Pada saat lahir lingkar kepala melebihi lingkar dada 2-3 cm
c. Pada 1-2 tahun, limgkar kepla sama dengan lingkar dada
d. Selama masa anak-anak, lingkar dada melebihi lingkar kepala kira-kira 5-7 cm.
4). Lingkar dada
a. Lingkar dada diukur menggunakan midline melingkari dada pada garis puting susu.
b. Lakukan pengukuran selama masa inspirasi dan ekspirasi.
5). Lingkar lengan
a. Pengukuran lingkar lengan pada lengan kanan fleksi 900 pada siku, tandai titik tengahnya.
b. Pegang kertas atau pita ukur tembaga melingkari lengan atas pada titik tengah
C. Tanda-tanda Vital
Sebaiknya tanda-tandavital diukur saat kedaan anak tengan untuk memperoleh hasil yang akura. Libatkan anak dan keluarga selama pemeriksaan.
1). Suhu
a. Suhu oral: Letakkan dibawah lidah didalam kantong sublingual posterior kanan tau kiri, bukan didepan lidah, minta anak untuk tetap mengatupkan mulutnya tanpa mengigit termometer.
b. Suhu aksila: tempatkan termometer dibawah lengan dengan ujungnya dibagian tengan aksila dan dekatkan dengan kulit, tahan tangan anak untuk mejepitnya
c. Suhu rektal: Masukkan ujung termometer yang telah diberi pelumas tidak lebih dari 2,5 cm kedalam rektum, pegang termometer dengan hati-hati didekat anus
2). Nadi
a. Ukur nadi apikal pada anak dibawah 2-3 tahun
b. Titik intensitas maksimum terletak di bagian lateral sampai puting susu pada ruang intercosta keempatsampai kelima pada garis midklavikula
c. Ukur nadi radialis pada anakusia lebih dari 2-3 tahun
d. Hitung nadi selam satu enit penuh
e. Tingkatan nadi:
• Tingkat 0 : tidak dapat diraba
• Tingkat +1 : sulit untuk diraba, lemah, halus, mudah lenyap dengan tekanan
• Tingkat +2 : sulit diraba, dpat lenyap dengan tekanan
• Tingkat +3 : mudah diraba, tidak mudah hilang dengan tekanan (normal)
• Tingkat +4 : kuat, berdenyut, tidak hilang dengen tekanan.
3). Pernapasan
Observasi frekuensi pernapasan selama satu menit penuh. Observasi adanya gerakan abdomen pada bayi, dan obeservasi adanya gerakan thoraks pada anak yang lebih besar
4). Tekanan darah
Gunakan ukuran manset dan stetoskop yang tepat. Ukuran manset mengacu pada kantong bagian dalam yang dapat dikembungkan. Daerah yang dapat digunakan untuk mengukur tekanan darah apda anak yaitu Lengan atas ( arteri brakhialis, lengan bawah atau lengan depan ( arteri radialis), paha (arteri poplitea), tungkai atau dorsalis pedis (arteri dorsalis pedis).
D. Kulit
Observasi kulit pada cahaya matahari atau sinar buatan yang netral
1). Warna: sklera, konjungtiva, pungung kuku, lidah mukosa mulut, telapak tangan, telapak kaki. Tentukan kulit terang (putih sampai kemerahan) dan kulit gelap.
2). Tekstur: kelembaban, kehalusan, integritas kulit, dan suhu.
3). Suhu: bandingkan di semua permukaan kulit ( normalnya sama diseluruh permukaan tubuh, pada bagian yang terpapar teraba lebih dingin).
4). Turgor: genggam kulit pada abdomen antara ibu jari dan jari telunjuk, tarik, da lepaskan. Tentukan bentuk dengan segera tanpa lengkungan, keriput, atau depresi berkepanjangan.
E. Struktur aksesori
1). Rambut: inspeksi warna, tekstur, kualitas, distribusi, elastisitas, higiene
2). Kuku; inspeksi warna, tekstur, kualitas, distribusi, elastisitas, higiene
3). Observasi lipatan fleksi pada telapak tangan.
F. Nodus Limfe
1). Palpasi nodus lemfe menggunakan bagian distal jari
2). Tekan dengan perlahan tapi tegas dengan gerakan melingkar
3). Perhatikan ukuran, mobilitas, suhu, kekerasan.
4). Submaksilaris: tundukkan kepala sedikit kebawah
5). Servikal: tengadahkan kepala sedikit keatas
6). Aksila: rilekskan lengan disamping tapi sedikit terabduksi
7). Inguinalis: tempatkan anak pada posisi terlentan
8). Normalnya nodus limfe tidak dapat dipalpasi atau sangat kecil, tidak ada nyeri tekan, dapat digerakkan.
G. Kepala
1). Perhaikan bentuk dan kesimetrisan
2). Perhatikan kontrol kepala (terutama pada bayi) dan postur kepala
Wajah simetris, kepala pada garis tengah.
3). Evaluasi rentang gerak: gerakan kepala keatas, kebawah, kanan, dan kiri
4). Palpasi tengkorak akan adanya fontanel, nodus, atau pembengkakan yang nyata.
Fontanel posterior menutup pada usia 2 bulan, fontanel anterior menutup pada usia 12-18 bulan.
Periksa higiene kulit kepala akan adanya lesi, infestasi, trauma, kehilangan rambut, perubahan warna.
H. Leher
1). Inspeksi ukuran leher
2). Trakhea: palpasi adanya deviasi, letakkan ibu jari dan jari telunjuk pada setiap sisi dan gerakkan jari kedepan dan kebelakang
3). Tiroid: palpasi ukuran, bentuk, kesimetrisan, nyeri tekan. Tempatkan bantalan jari telunjuk dan jari tengah dibawah kartilago krikoid, rasakan ismus (jaringan penyambung lobus) naik ketika menelan.
4). Arteri karotis: palpasi di kedua sisi.
I. Mata
1). Inspeksi penempatan dan kesejajaran antar kedua mata
2). Bila abnormalitas dicurigasi, ukur jarak kedua kantus bagian dalam (+ 3 cm)
3). Observasi adanya kelebihan lipatan epikantus dari atap hidung sampai terminasi dalam alis mata (sering apda anak asia)
4). Observasi penempatan, gerakan dan warna kelopak mata
5). Inspeksi konjungtiva palpebra.
J. Telinga
1). Pinna : inspeksi penempatan dan kesejajaran
2). Ukur tinggi pinna dengn menarik garis imajiner dari orbit luar mata ke oksipital tengkorak
3). Ukur sudut pinna dengan menarik garis horisontal imajiner dan sejajarkan pinna setelah tanda ini ( berada dalam sudut 100 dari garis vertikal.
4). Perhatikan adanya lubang abnormal, penebalan kulit, atau sinus.
5). Inspeksi higiene telinga (bau, rabas, warna)
K. Hidung
1). Vestibula Anterior: tengadahkan kepala kebelakang, dorong ujung telinga keatas, dan sinari lubang didung dengan sinar kilat untuk mendeteksi perforasi septum
2). Inspeksi struktur eksternal dan internal hidung
3). Inspeksi adanya discharge (sekret, warna)
L. Mulut
1). Bibir: perhatikan warna, tekstur dan lesi sebelumnya
2). Minta anak untuk membuka mulut, dengan tangan diangkat keatas disamping kepala, minta keliarga menjaga tangan anak dan immobilisasi kepala
3). Dapat dilakuakn didepancermin, dan libatkan anak dalam pemeriksaan
4). Hindarkan penggunaan spatel lidah bila tidak diperlukan.
5). Gunakan lampu senter untuk mendapatkan penyinaran yang baik
6). Observasi membran mukosa: merah muda terang, berkulaiu, halus, sama, dan lembab
7). Ginggiva: kuat, merah muda, kekuningan, berbintik-bintik.
8). Gigi: jumlah sesuai dengan usia, putih, oklusi rahang atas dan bawah baik
9). Lidah: tekstur kasar, dapat bergerak bebas, ujung dapat mencapai bibir, tidak ada lesi atau massa dibawah lidah.
M. Dada
1). Inspeksi ukuran, bentuk,kesimetrisan, gerakan dan perkembangan payudara
2). Lokalisasi ruang intercista
3). Puting biasanya pada intercosta ke-4
4). Ujung igi ke-11 teraba pada lateral
5). Ujung igi ke-12 teraba pada posterior
6). Ujung skapula pada iga atau intercosta ke-8
N. Paru
1). Kaji gerakan pernapasan: frekuesi, irama, kedalaman, kulaitas, dan karakter
2). Dengan anak pada posisi duduk, tempatkan kedua tang datar apd punggung dan dada engan ibu jari digaris tengah sepanjang tepi kostal bawah
3). Taktil fremitus: palpasi pada rongga torak dan minta anak untuk emngatakan “777” atau “eee”.
4). Perkusi kedua sisi dada pada ruang intercosta
a. Pekak pada garis midklavikular kanan intercosta kelima (hepar)
b. Pekak dari intercosta kedua-kelima diatas batas strernum kiri sampai garis midklavikular (jantung)
c. Timpani pada intercosta kelia kiri bawah (lambung)
5). Auskultasi pernapasan dan bunyi suara: intensitas, nada, kualitas, durasi relatis dari inspirasi dan ekspirasi. Anjurkan anak untuk napas dalam dengan meminta anak meniup bola kapas yang berada di telapak tangan
a. Bunyi napas vesikuler: dengarkan seluruh permukaan paru kecuali area intraskapular atas dan manubrium bawah, inspirasi lebih keras, lebih panjang, dan bernada lebih tinggi dari ekspirasi
b. Bunyi napas Bronkovesikuler: twerdengar pada area intraskapular atas dan manubrium, inspirasi dan ekspirasi hampir sama.
c. Bunyi napas Bronkhial: terdengar hanya diarea atas trakhea dekat takik suprasternal, ekspirasi lebih panjang, lebih keras, dan nada lebih tinggi dari pada inspirasi.
O. Jantung
1). Mulai dengan inspeksi, diikuti dengan palpasi, kemudian auskultasi
2). Perkusi tidak dilakuakn karena nilainya yang terbatas dalam menggambarkan ukuran jantung
3). Inspeksi jantung dengna anak pada posisi semi fowler, observasi dinding dada dari sebuah sudut. Dinding dada simetris
4). Palpasi untuk menentukan lokasi impuls apikal (ictus kordis) yaitu impuls jantung paling lateral. Ictus cordis berada di lateral midklavikula sinistra dan intercosta ke-4 pada anak < 7 tahun. Pada anak . 7 tahun ictus cordis teraba pada garis midklavikula sinistra intercosta ke-5.
5). Palpasi kulit untuk waktu pengisian kapiler
6). Auskultasi bunyi jantung
a. Dengarkan dengan anak dalam posisi duduk dan bersandar
b. Gunakan stetoskop bagian diafragma dan bel dada
c. Kaji kualitas (jelas dan jernih), intensitas (kuat tetapi tidak mantap), frekuensi (sama dengan nadi radialis), irama (teratur dan datar).
d. Area aortik: ruang intercosta ke-2 dekstra para sternal. S2 terdengar lebih keras daripada S1
e. Area pulmonik: ruang intercosta ke-2 snistra para sternal. Pemecahan dari S2 yang terdengar paling baik (normalnya melebar pada inspirasi)
f. Titik Erb: ruang intercosta ke-3 dan ke-2 sinistra para sternal. Daerah murmur fungsional yang paling sering
g. Area apikal atau mitral: ruang intercosta ke-5, garis midklavikula sinistra 9ruang itercosta ke-3 sampaike-4 dan lateral pada garis midklavikula sinistra pada bayi). S1 terdengar paling keras, pemecahan S1 dapat didengarkan.
P. Abdomen
1). Inspeksi diikuti dengan auskultasi, perkusi, dan palpasi yang dapat merubah bunyi abnormal normal.
2). Bentuk silinder dan menonjol pada posisi tegak dan datar bila terlentang pada bayi.
3). Palpasi mungkin tidak nyaman untuk anak. Tempatkan anak pada posisi terlentang dengan kaki fleksi pada panggul dan lutut.alihkan perhatian anak dengan pernyataan seperti “saya akan menebak apa yang kamu makan dengan memegang perutmu”. Minta anak mempalpasi dengan menempatkan tangannya sendiri diatas tangan perawat yang memeriksa.
4). Minta anak menempatkan tangannya pada abdomen dengan jari meregang dan palpasi diantara jari-jari.
5). Inspeksi kontur, ukuran, dan tonus (tinus kuat, muskular pada pria remaja).
6). Kaji kondisi kulit (halus dan rapi)
7). Kaji gerakan abdomen. Pada anak dibawah 7-8 tahun meningkat pada inspirasi dan selaras dengan gerakan dada. Pada anak yang lebih besar gerakan pernapasan kurang.
8). Inspeksi umbilikus akan adanya herniasi, fistula, higiene, dan rabas.
9). Kaji adany hernia; inguinalis (urutkan jari kelingking ke cincin inguinalis eksternal didasar skrotum, minta anak untuk batuk0, femoralis ( tempatkan jari diatas kanalis femoralis, cari dengan meletakkan jari telunjuk diatas nadi femoralis dan jari tengah di kulit menghadap garis tengah).
10). Auskultasi bisig usus pulsasi aortik
a. Bising usus: bunyi gemerincing logam pendek seperti kumur-kumur, klik, atau terdengar menggeram setiap 10-30 detik
b. Pulsasi aortik: terdengar pada epigastrium, sedikit kekiri ke garis tengah.
11). Perkusi abdomen
a. Timpani pada lambung pada sisi kiri dan seluruh abdomen, kecuali untuk pekak atau datar tepat dibawah marjin kostal kanan (hepar)
12). Palpasi organ abdomen
a. Hepar: 1-2 jari dibawah marjin kostal kanan pada bayi dan anak kesil
b. Limpa : 1-2 cm dibawah maerjin kostal kiri pada bayi dan anak kecil
13). Palpasi nadi femoralis: tempatkan ujung 2-3 jari ditengah antara puncak iliaka dan simpisis pubis
14). Timbulkan reflek abdomen: regangkan kulit dari samping ke garis tengah pada setiap kuadran. Umbilikus bergerak kearah kuadran yang ditekan.
Q. Genitalia
1). Pemriksaan genitalia sama seperti pemeriksaan organ sebelumnya, jelaskan prosedur dan maknanya
2). Hargai privasi klien.
3). Bila ada kontak dengan substansi tubuh, gunakan sarung tangan.
4). Penis: inspeksi ukuran
a. Glans dan batang: inspeksi adanya tanda-tanda pembengkakan, lesi, inflamasi
b. Prepsium: inspeksi lokasi dan perhatikan adanya rabas
c. Meatus uretra: inspeksi lokasi dan perhatikan adanya rabas
d. Skrotum: inspeksi ukuran, lokasi, kulit, dan distribusi rambut. Mungkin tampak besar apda bayi, tergantung bebas dari peinium dibelakang penis, satu kantung tergantung lebih rendah dari yang lain, kulit kendur keriput, biasanya merah dan kasar apda remaja.
e. Testis: palpasi kantung skrotum dengan menggunakan ibu jari dan ajri telunjuk. Badan ovoid kecil panjangnya kira2 1,5-2 cm, berukuran ganda selama pubertas.
5). Genitalia eksterna: inspeksi struktur, tempatkan anak pada posisi setengah bersandar pada orang tua dengan lutut fleksi dan telapak kaki saling bersebelahan
a. Mons pubis: bantalan lemak diatas simpisis pubis, pada remaja tertutup rambut, distribusi rambut biasanya adalah triangular
b. Klitoris: terletak pada ujung anterior labia minora tertutup oleh lipatan kecil kulit (prepusium)

6). Labia: palpasi adanya massa
a. Labia mayora: dua lipatan tebal kulit membentuk mons pada komisura posterior, permukaan dalam merah muda dan lembab
b. Labia minora: dua lipatan kulit interior pada labia mayora, biasanya dapat dilihat sampai pubertas, menonjol apda bayi baru lahir.S
7). Metus uretra: inspeksi terhadap lokasi, seperti bentuk V dengan meregangkan kearah bawah dari litoris ke perinium
8). Orifisium vaginalis: pemeriksaan interna biasanya tidak dilakukan, inspeksi terhadap lubang sebelumnya. Terletak apada posterior meatus uretra, dapat tertutup oleh memran berbentuk sabit atau sirkuler (himen), rabas biasanya jernih atau sirkuler.
9). Anus
a. Inspeksi penampilan umum, kondisi kulit
b. Bokong: lipatan padat, lipatan gluteal simetris
c. Reflek anal: munculkan dengan mengerutkan atau meregangkan area perianal dengan perlahan. Kontraksi cepat sfingter anal eksterna, tidak ada protusi rekstum.
R. Punggung dan Ekstremitas
1). Inspeksi kurvatura dan kesimetrisan tulang belakang. Pada bayi baru lahir berbentuk C atau bulat. Kurva sekunder servikal terbentuk kira-kira pada usia 3 bulan. Lordosis merupakan hal yang normal apda anak kecil tapi berkurang sesuai usia.
2). Uji adanya skoliosis. Bahu, skapula, dan puncak iliaka simetris
3). Observasi mobilitas tulang belakang. Fleksibel, rentang gerak penuuh, tidak ada nyeri atau kekakuan.
4). Inspeksi setiap sendi ekstremitas untuk kesimetrisan, ukuran (sama), suhu, warna, nyeri tekan, mobilitas, jumlah jari tepat, kuku merah muda.
5). Inspeksi posisi telapak kaki, uji apakah ada deformitas kaki apd saat lahir merupakan akibat dari posisi fetal atau perkembangan leh peegangan keluar
6). Inspeksi cara berjalan. Minta anak berjalan apda garis lurus
7). Kaji reflek plantar: usap telapak kai lateral dari tumit kedepan ke ibu jari kaki melewati haluks. Fleksi ibu jari kaki pada anak diatas usia 1 tahun.
8). Kaji kekuatan otot:
a. Lengan: minta anak mengangkat tangan sambil melawan tekanan dari tangan anda
b. Kaki: minta anak duduk dengan kaki menggantung, lanjutkan seperti pada tangan.
c. Telapak tangan: Minta anak meremas jari anda sekencang mungkin
d. Telapak kaki: minta anak memfleksikan plantar, dorong telapak kai kearah lantai sambil menekan telapak kaki.

DAFTAR PUSTAKA

Bates, Barbara. Buku Saku Pemeriksaan fisik dan Riwayat Kesehatan. Edisi 2. Jakarta: EGC 1997

Hidayat, Aiziz Alimul. Pengantar Ilmu keperawatan Anak. Buku 1. jakarta: Salemba Medika. 2006

Sacharin, Rosa M. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta: EGC. 1996

Wong, Donna L. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. jakarta: EGC. 2003

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

RETARDASI MENTA…

RETARDASI MENTAL

A.    Definisi

Terdapat berbagai macam definisi mengenai retardasi mental,menurut:

Ø  WHO

Retardasi mental yaitu kemampuan mental yang tidak mencukupi.

Ø  Carter CH

Retardasi mental yaitu suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensi yang rendah yang menyebabkan ketidak mampuan individu untuk belajar dan beradaptasi terhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan yang di anggap normal.

Ø  Crocker AC

Retardasi mental yaitu apabila jelas terdapat fungsi intelegensi yang rendah,yang di sertai adanya kendala dalam penyesuaian perilaku,dan gejalanya timbul pada masa perkembangan.

Ø  Melly Budhiman

Seseorang di katakan retardasi mental bila memenuhi criteria sebagai berikut:

a.       Fungsi intelektual umum di bawah normal

b.      Terdapat kendala dalam perilaku adaptif social

c.       Gejalanya timbul dalam masa perkembangan yaitu di bawah usia 18 tahun.

 

 

Fungsi intelektual dapat diketahui dengan test fungsi kecerdasan  atau IQ (Intelegence Quotient).

IQ adalah MA/CA x 100%

M.A =Mental Age,umur mental yang di dapat dari hasil tets

C.A =Chronological Age,umur berdasarkan perhitungan tanggal lahir.

Yang dimaksud dengan intulektual di bawah normal,yaitu apabila IQ dibawah 70.Anak ini tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara berpikirnya yang terlalu sederhana,daya tangkap dan daya ingatnya lemah,demikian pula dengan pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah.

Sedangkan yang dimaksud dengan perilaku adaptif sosial adalah kemampuan seseorang untuk mandiri,menyesuaikan diri dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan kelompok umur dan budayanya.Pada penderita retardasi mental gangguan perilaku adaptif yang paling menonjol adalah kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya. Biasanya tingkah lakunya kekanak-kanakan tidak sesuia denagn umurnya.

Gejala harus tersebut harus timbul pada masa perkembangan, yaitu dibawah umur 18 tahun. Karena kalau gejala tersebut timbul setelah umur 18 tahun,bukan lagi disebut retardasi mental tetapi penyakit lain sesuai dengan gejala klinisnya.

B.     Klasifikasi

Menurut nilai IQ-nya,maka intelegensi seseorang dapat digolongkan sebagai berikut:

 

                                                                                Nilai IQ

 Sangat Superior                                                          130 atau lebih

Superior                                                                         120 – 129

Diatas rata-rata                                                               110 – 119

Rata-rata                                                                         90 – 110

Dibawah rata-rata                                                             80 – 89

Retardasi mental borderline                                             70 – 79

Retardasi mental ringan (mampu didik)                           52 – 69

Retardasi mental sedang (mampu latih)                            36 – 51

Retardasi mental berat                                                      20 – 35

Retardasi mental sangat berat                                       dibawah 20

 

Yang sisebut retardasi mental apabila IQ dibawah 70,retardasi mental tipe ringan masih mampu didik, retardasi mental tipe sedang mampuh latih, sedangkan retardasi mental tipe berat dan sangat berat memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidupnya. Bila ditinjau dari gejalanya,maka Melly Budhiman membagi:

1)      Tipe klinik

2)      Tipe sosio budaya

1 Tipe klinik

Pada retardasi mental tipe klinik ini mudah di deteksi sejak dini, karena kelainan fisis maupun mentalnya cukup berat. Penyebabnya sering kelainan organik. Kebanyakan anak ini perlu perawatan yang terus menerus dan kelainan ini dapat terjadi pada kelas sosial tinggi ataupun yang rendah. Orang tua dari anak yang menderita retardasi mental tipe klinik ini cepat mencari pertolongan oleh karena mereka melihat sendiri kelainan pada anaknya.

2 Tipe sosio budaya

Biasanya baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak normal, sehingga disebut juga retardasi enam jam. Karena begitu mereka keluar sekolah, mereka dapat bermain seperti anak-anak yang normal lainnya. Tipe ini kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi rendah. Para orang tua dari anak tipe ini tidak melihat adanya kelainan pada anaknya,mereka mengetahui kalau anaknya gagal beberapa tidak naik kelas. Pada umumnya anak tipe ini mempunyai taraf IQ golongan borderline dan retardasi mental ringan.

 

C.    Etiologi

Penyebab dari retardasi mental sangat kompleks dan multifaktorial. Walaupun begitu terdapat beberapa faktor yang potensial berperanan dalam terjadinya retardasi mental seperti yang dinyatakan oleh Taft LT dan Shonkoff JP dibawah ini.

Faktor-faktor yang potensial sebagai penyebab retardasi mental :

 

1.               Non-organik

·         Kemiskinan dan keluarga yang tidak harmonis

·         Faktor sosiokultural

·         Interaksi anak-pengasuh yang tidak baik

·         Penelantaran anak

 

2.               Organik

Ø  Faktor prakonsepsi

·         Abnormalitas single gene (penyakit-penyakit metabolik, kelainan neurocutaneos, dll.)

·         Kelainan kromosom ( X-linked, translokasi, fragile-X) – syndrome polygenic familial.

Ø  Faktor prenatal

·         Ganguan pertumbuhan otak trimester I

ü  Kelainan kromosom (trisomi,mosaik,dll)

ü  Infeksi intrauterin,misalnya TORCH,HIV (Human immunodeficiency virus)

ü  Zat-zat teratogen (alcohol,radiasi dll)

ü  Disfungsi plasenta

ü  Kelainan congenital dari otak (idiopatik)

·         Gangguan pertumbuhan otak trimester II dan III

ü  Infeksi intrauterin, misalnya TORCH,HIV

ü  Zat-zat teratogen (alcohol, kokain, logam berat, dll)

ü  Ibu: diabetes militus,PKU (Phenylketonuria)

ü  Toksemia gravidarum

ü  Disfungsi plasenta

ü  Ibu malnutrisi

Ø  Faktor perinatal

·         Sangat premature

·         Asfiksia neonatorum

·         Trauma lahir: pendarahan intra cranial

·         Meningitis

·         Kelainan metabolik : hipoglikemia, hiperbilirubinemia

Ø  Faktor post natal

·         Trauma berat pada kepala/susunan saraf pusat

·         Neuro toksin, misalnya logam berat

·         CVA (Cerebrovascular accident)

·         Anoksia, misalnya tenggelam

·         Metabolik

ü  Gizi buruk

ü  Kelainan hormonal, misalnya hipotiroid, pseudohipoparatiroid

ü  Aminoaciduria, misalnya PKU (Phenyl ketonuria)

ü  Kelainan metabolisme karbohidrat, galaktosemia, dll

·         Infeksi

Kebanyakan anak yang menderita retardasi mental ini berasal dari golongan social ekonomi rendah, akibat kurangnya stimulasi dari lingkungannya sehingga secara bertahap menurunkan IQ yang bersamaan dengan terjadinya mutasi. Demikian pula pada keadaan social ekonomi  yang rendah dapat sebagai penyebab organik dari retardasi mental,

 

D.    Diagnosis dan Gejala klinis

Dengan melakukan skrining secara rutin misalnya dengan menggunankan DDST (Denver Developmental Screening Test), maka diagnosis dini dapat segera dibuat. Demikian pula anamnesis yang baik dari orang tuanya, pengasuh atau gurunya, sangat membantu dalam diagnosis kelainan ini. Setelah anak berumur 6 tahun dapat dilakukan test IQ. Sering kali hasil evaluasi medis tidak khas dan tidak dapat diambl kesimpulan. Pada kasusu seperti ini, apabila tidak ada kelainan pada system susunan saraf pusat, perlu, anamnesis yang teliti apakah ada keluarga yang cacat, mencari masalah lingkungan/factor nonorganic lainnya dimana diperkirakan mempengaruhi kelainan pada otak anak.

            Gejala klinis retardasi mental terutama yang berat sering disertai beberapa kelainan fisik yang merupakan stigmata kongenita, yang kadang-kadang gambaran stigmata mengarah kesuatu sindrom penyakit tertentu. Dibawah ini beberapa kelainan fisik dan gejala yang sering disertai retardasi mental, yaitu :

1.      Kelainan pada mata :

Ø  Katarak

Ø  Bintik cherry-merah pada daerah macula

Ø  Kornea keruh

2.      Kejang :

Ø  Kejang umum tonik klonik

Ø  Kejang pada masa neonatal

3.      Kelainan pada kulit :

Ø  Bintik-café-au-lait

4.      Kelainan rambut :

Ø  Rambut rontok

Ø  Rambut cepat memutih

Ø  Rambut halus

5.      Kepala :

Ø  Mikrosefali

Ø  Makrosefali

6.      Perawakan pendek :

Ø  Kretin

Ø  Sindrom prader-willi

7.      Distonia :

Ø  Sindrom hallervorden

Sedangkan gejala dari retardasi mental tergantung dari tipenya, adalah sebagai berikut :

1.      Retardasi mental ringan

Kelompok ini merupakan bagian terbesar dari retardasi mental. Kebanyakan dari kelompok ini termasuk dalam tipe social budaya, dan diagnosis dibuat setelah anak beberapa kali tidak naik kelas. Golongan ini termasuk mampu didik, artinya selain dapat diajar baca tulis bahkan sampai kelas 4-6 SD, juga bias silatih keterampilan tertentu sebagai bekal hidupnya kelak dan mampu mandiri seperti orang dewasa yang normal. Tetapi pada umumnya mereka ini kurang mampu menghadapi stress sehingga tetap membutuhkan bimbingan dari keluarganya.

2.      Retardasi mental sedang

Kelompok ini kira-kira 12% dari seluruh penderita retardasi mental, mereka ini mampu latih tetapi tidak mampu didik. Taraf kemampuan intelektualnya hanya dapat sampai kelas 2 SD saja, tetapai dapat dilatih menguasai suatu keterampilan tertentu misalnya pertukangan,pertanian dll. Dan apabila bekerja nanti mereka ini perlu pengawasan.Mereka juga perlu dilatih bagaimana mengurus diri sendiri.Kelompok ini juga kurang mampu menghadapi stress dan kurang dapat mandiri,sehingga memerlukan bimbingan dan pengawasan.

3.      Retardasi mental berat

Sekitar 7% dari seluruh penderita retardasi mental masuk kelompok ini.Diagnosis mudah ditegakkan secara dini,karena selain adanya gejala fisik yang menyertai juga berdasarkan keluhan dari orang tua dimana anak sejak awal sudah tedapat keterlambatan perkembangan motorik dan bahasa.Kelompok ini termasuk tipe klinik.Mereka dapat dilatih hygiene dasar saja dan kemampuan berbicara yang sederhana,tidak dapat dilatih keterampilan kerja,dan memerlukan pengawasan dan bimbingan sepanjang hidupnya.

4.      Retardasi mental sangat berat

Kelompok ini sekitar 1% dan termasuk dalam tipe klinik.Diagnosa ini mudah dibuat karena gejala baik mental dan fisik sangat jelas.Kemampuan berbahasanya sangat minimal.Mereka ini seluruh hidupnya tergantung pada orang di sekitarnya

 

E.     Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada anak yang menderita retardasi mental,yaitu:

1.      Kromosom kariotipe

2.      EEG (Elektro Ensefalogram)

3.      CT (Cranial Computed Tomography) atau MRI (Magnetic Resonance Imaging)

4.      Titer virus untuk infeksi congenital

5.      Serum asam urat (Uric acid serum)

6.      Laktat dan piruvat

7.      Plasma asam lemak rantai sangat panjang

8.      Serum seng (Zn)

9.      Logam berat dalam darah

10.  Serum tembaga (Cu) dan ceruloplasmin

11.  Serum asam amino atau asam organik

12.  Plasma ammonia

13.  Analisa enzim lisozom pada lekosit atau biopsy kulit:

14.  Urin mukopolisakarida

15.  Urin reducing substance’

16.  Urin ketoacid

17.  Urin asam vanililmandelik

 

F.     Penatalaksanaan

Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan sangat individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak semua anak penanganan multidisiplin merupakan jalan yang baik. Sebaiknya dibuat rancangan suatu strategi pendekatan bagi setiap anak secara individual untuk mengembangkan potensi anak tersebut seoptimal mungkin. Untuk itu perlu melibatakn psikolog untuk menilai perkembangan mental anak terutama kemampuan kognitifnya,dokter anak untuk memeriksa fisik anak,menganalisis penyebab,dan mengobati penyakit atau kelainan yang mungkin ada. Juga kehadiran pekerja social kadang-kadanng diperlukan untuk menilai situasi keluarganya. Atas dasar itu maka buatlah strategi terapi. Seringkali melibatkan lebih banyak ahli lagi,misalnya ahli saraf bila anka juga menderita epilepsi,palsiserebral,dll. Psikiater,bila anaknya menunjukkan kelainan tingkah laku atau bila orang tuanya membutuhkan dukungan terapi keluarga. Ahli rehabilitasi,bila diperlukan untuk merangsang perkembangan motorik dan sensoriknya. Ahli terapi wicara,untuk memperbaiki gangguan bicaranya atau untuk merangsang perkembangan bicarnya. Serta diperlukan buruh pendidikan luar biasa untuk anak-anak yang retardasi mental ini.

Pada orang tuanya perlu diberi penerangan yang jelas mengenai keadaan anaknya, dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. kadang-kadang diperlukan waktu yang lama untuk meyakinkan orang tua mengenai keadaan anaknya, maka perlu konsultasi pula dengan psikolog dan psikiater. Disamping itu diperlukan kerja sama yang baik antara guru dengan orang tuanya,agar tidak terjadi kesimpang siurandalam strategi penanganan anak disekolah dan dirumah. Anggota keluarga lainnya juga harus diberi pengertian. Disamping itu masyarakat perlu diberikan penerangan tenteng retardasi mental,agar mereka dapat menerima anak

Sekolah khusus untuk anak retardasi mental ini adalah SLB-C.Di sekolah ini diajarkan keterampilan-keterampilan dengan harapan mereka dapat mandiri dikemudian hari. Diajarkan pula tentang baik buruknya suatu tindakan tertentu,sehingga mereka diharapkan tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji,seperti mencuri,merampas,kejahatan seksual,dll.

Semua anak yang retardasi mental ini juga memerlukan perawatan seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin,imunisasi,dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya. Anak-anak ini sering juga disertai dengan kelainan fisik yang memerlukan penanganan khusus.

 

G.    Pencegahan

Dengan memberikan perlindungan terhadap penyakit-penyakit yang potensial dapat mengakibatkan retardasi mental, misalnya melalui imunisasi. Konseling perkawinan, pemeriksaan kehamilan yang rutin, nutrisi yang baik selama kehamilan, dan bersaling pada tenaga kesehatan yang berwenang maka dapat membantu menurunkan angka kejadian rfetardasi mental. Demikian pula dengan mengentaskan kemiskinan dengan membuka lapangan kerja, memberikan pendidikan yang baik, memperbaiki senitasi lingkungan, meningkatkan gizi keluarga, akan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Dengan adanya program BKB (Bina Keluarga dan Balita)yang merupakan stimulasi mental dini dan bisa dikembangkan dan juga deteksi dini, maka dapat mengoptimalkan perkembangan anak.

Diagnosis ini sangat penting, dengan melakukan skrining sedini mungkin, terutama pada tahun pertama, maka dapat dilakukan intervensi yang dini pula. Misalnya diagnosis dini dan terapi dini hipotiroid, dapat memperkecil kemungkinan retardasi mnetal. Detaksi dan intervensi dini pada retardasi mental sangat membantu memperkecil retardasi yang terjadi.

 

 

BAB III

KONSEP ASKEP

 

A.Pengakajian.

Pengakjian dapat dilakukan melalui:

1. Neuroradiologi dapat menemukan kelainan dalam struktur kranium, misalnya klasifikasi atau peningkatan tekanan intrakranial.

2. Ekoesefalografi dapat memperlihatkan tumor dan hamatoma.

3. Biopsi otak hanya berguna pada sejumlah kecil anak retardasii mental. Juga tidak mudah bagi orang tua untuk menerima pengambilan jaringan otak dalan jumlah kecil sekalipun karena dianggap menambah kerusakan otak yang memang tidak adekuat.

4. Penelitian bio kimia menentukan tingkat dari berbagai bahan metabolik yang diketahui mempengaruhi jaringan otak jika tidak ditemukan dalam jumlah besar atau kecil, misalnya hipeglekimia pada neonatus prematur, penumpukan glikogen pada otot dan neuron, deposit lemak dalam otak dan kadar fenilalanin yang tinggi.

Atau dapat melakukan pengkajian sebagai berikut:

·         Lakukan pengkajian fisik.

·         Lakukan pengkajian perkembangan.

·          Dapatkan riwayat keluarga, teruma mengenai retardasi mental dan gangguan herediter dimana retardasi mental adalah salah satu jenisnya yang utama.

·         Dapatkan riwayat kesehatan unutk mendapatkan bukti-bukti adanya trauma prenatal, perinatal, pascanatal, atau cedera fisik.

·          Infeksi maternal prenatal (misalnya, rubella), alkoholisme, konsumsi obat.

·          Nutrisi tidak adekuat.

·          Penyimpangan lingkungan.

·          Gangguan psikiatrik (misalnya, Autisme).

·          Infeksi, teruma yang melibatkan otak (misalnya, meningitis, ensefalitis, campak) atau

·         suhu tubuh tinggi.

·          Abnormalitas kromosom.
Bantu dengan tes diagnostik misalnya: analis kromosom, disfungsimetabolik, radiografi, tomografi, elektro ersafalografi.

·         Lakukan atau bantu dengan tes intelegensia. Stanford, binet, Wechsler Intellence, Scale, American Assiciation of Mental Retardation Adaptif Behavior Scale.

·          Observasi adanya manifestasi dini dari retardasi mental:
 –  Tidak responsive terhadap kontak.
 –  Kontak mata buruk selama menyusui.
 –  Penurunan aktivitas spontan.
 –  Penurunan kesadaran terhadap suara getaran.
–   Peka rangsang.
–   Menyusui lambat.

B. Diagnosa

1. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kerusakan fungsi kognitf.

2. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita retardasi mental.

 

C. Intervensi

1. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kerusakan fungsi kognitf.

hasil yang ingin dicapai

•          Anak dan keluarga aktif terlibat dalam program stimulai bayi.

•          Keluarga menerapkan konsep-konsep dan melanjutkan aktivitas perawatan anak di rumah.

•          Anak melakukan aktivitas hidup sehari-hari pada kapasitas optimal.
 Keluarga~ mencari tahu tentang program pendidikan.

Intervensi keperawatan.

•          Libatkan anak dan keluarga dalam program stimulasi dini pada bayii

Rasional : untuk membantu memaksimalkan perkembangan anak.~

•         Kaji kemajuan perkembangan anak dengan interval regular, buat catatan yang terperinci untuk membedakan perubahan fungsi samar

Rasional : sehingga rencana perawatan dapat diperbaiki sesuai kebutuhan.

•         Bantu keluarga menyusun tujuan yang realitas untuk anak,

Rasional : untuk mendorong keberhasilan pencapaian sasaran dan harga diri.

•          Berikan penguatan positif / tugas-tugas khusus untuk perilaku anak

Rasional : karena hal ini dapat memperbaiki motivasi dan pembelajaran.

•         Berikan pada remaja informasi praktik sosial dan kode prilaku yang kongkrit dan terdefinisi dengan baik,

Rasional : karena kemudahan persuasi anak dan kurangnya penilaian dapat membuat anak nerada pada resiko berbahaya.

2.. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita retardasi mental.

Hasil yang diharapkan

•         Keluarga mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran mengenai kelahiran anak dengan retardasi mental dan impikasinya.

•          Anggota keluarga membuat keputusan yang realistik berdasarkan kebutuhan dan kemampuan mereka.

•          Anggota keluarga menunjukan penerimaan terhadap anak.

Intervensi Keperawatan

·         Berikan informasi pada keluarga sesegera mungkin pada saat atau setelah kelahiran.

Rasional ; Agar keluarga mampu menerima keadaan yang sesungguhnya.

•          Ajak kedua orang tua untuk hadir pada konferensi pemberian informasi.

Rasional : Agar orang tua mendapatkan banyak informasi tentang retardasi mental.

•          Diskusikan dengan anggota keluarga tentang manfaat dari perawatan dirumah, beri kesempatan pada mereka untuk menyelidiki semua alternatif residensial sebelum membuat keputusan.

Rasional : Agar mereka dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi mereka dan anaknya.

 Dorong keluarga untuk~ bertemu dengan keluarga lain yang mempunyai masalah yang sama

Rasional : sehingga mereka dapat menerima dukungan tambahan..

D.    Evaluasi

v  Pasien mencapai potensi pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.

v  Keluarga mampu menerima keadaan yang anaknya yang retardasi mental.

BAB IV

PENUTUP

 

A.                Kesimpulan
Retardasi mental adalah bentuk gangguan atau kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimulus eksteren dan ketegangan-ketegangan sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari suatu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaanmental.
Retardasi mental bisa saja terjadi pada setiap individu / manusia karena adanya faktor-faktor dari dalam maupun dari luar, gejala yang ditimbulkan pada penderita retardasi mental umumnya rasa cemas, takut, halusinasi serta delusi yang besar.

B.        Saran
a) Disarankan kepada para ibu agar memperhatikan kesehatan dirinya seperti memperhatikan gizi, hati-hati mengkonsumsi obat-obatan dan mengurangi kebiasaan buruk seperti: minum-minuman keras dan merokok.
b) Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan perlu melakukan langkah prepentif guna menanggulangi gangguan mental yang dapat membahayakan kesehatan anak dan remaja caranya yaitu dengan menggalakkan penyuluhan tentang retardasi mental kepada masyarakat.

ASKEP PJ KONGEN…

ASKEP PJ KONGENITAL

OLEH : MUNZIA( perawat cantik MCB)

  1. A.    Defenisi penyakit jantung kongenital

Penyakit jantung konginetal adalah penyakit jantung yang terjadi akibat kelainan dalam perkembangan jantung dan pembuluh darah, sehingga dapat mengganggu dalam fungsi jantung dan sirkulasi darah jantung atau yang dapat mengakibatkan sianosis danasianosis. Pada kelompok sianosis tidak terjadi percampuran darah yang teroksigenasidalam sirkulasi sistemik dan pada yang asianosis terjadi percampuran sirkulasi pulmoner dan sistemik.

Penyakit jantung bawaan adalah penyakit struktural jantung dan pembuluh darah besar yang sudah terdapat sejak lahir. Perlu diingatkan bahwa tidak semua penyakit jantung bawaan tersebut dapat dideteksi segera setelah lahir, tidak jarang penyakit jantung bawaaan baru bermanifestasi secara klinis setelah pasien berusia  beberapa minggu, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun ( Markum, 1996).

Penyakit jantung bawaan yang kompleks terutama ditemukan pada bayi dan anak-anak. Apabila tidak dioperasi, kebanyakan akan meniinggal pada waktu bayi. Oleh karena itu, penyakit jantung bawaan yang ditemukan pada orang dewasa menunjukkan bahwa pasien tersebut mampu melalui seleksi alam, atau telah mengalami tindakan operasi dini pada usia muda. Hal ini pulalah yang menyebabkan perbedaan pola penyakit jantung bawaan pada anak dan pada orang dewasa (Panggabean & Harun, 1999).

  1. B.     Etiologi penyakit jantung congenital

Penyebab terjadinya penyakit jantung bawaan belum dapat diketahui secara pasti, tetapi beberapa faktor diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian kelainan-kelainan jantung bawaan. Faktor-faktor tersebut adalah:

1.      Faktor prenatal:

·         Penyakit rubella

·         Alkoholisme

·         Umur ibu lebih dari 40 tahun

·         Ibu menderita penyakit DM yang memerlukan insulin

2.      Faktor genetik: 

·         Kelainan jantung pada anak yang lahir sebelumnya

·         Ayah atau ibu menderita penykit jantung bawaan

·         Kelainan kromosom, seperti sindroma Down

·         Lahir dengan kelainan bawaan yang lain.

  1. C.    Klasifikasi penyakit jantung congenital

Pembagian atas dasar kelainan fungsi sirkulasi yang terjadi, yaitu:

1.      Penyakit jantung bawaan non-sianotik:

a.       Dengan vaskularisasi paru normal: stenosis aorta, stenosis pulmonal, koarktasio aorta, kardiomiopati.

b.      Dengan vaskularisasi paru bertambah: defek septum atrium, defek atrioventrikularis, defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten, anomaly drainase vena pulmonalis parsial.

2.      Penyakit jantung bawaan sianotik:

a.       Dengan vaskularisasi paru bertambah: transposisi arteri besar tanpa stenosis pulmonal, double outlet right ventricle tanpa stenosis pulmonal, trunkus arteriosus persisten, ventrikel tunggal tanpa stenosis pulmonal, anomaly total drainase vena pulmonalis.

b.      Dengan vaskularisasi paru berkurang: stenosis pulmonal berat pada neonates, tetralogi Fallot, atresia pulmonal, atresia tricuspid, anomaly Ebstein. (Sastroasmoro & Maldiyono, 1996)

 

 

SEPTAL DEFECT (ASD)/DEFEK SEPTUM ATRIUM

ASD adalah suatu kelainan jantung bawaan dimana terdapat defek sederhana atau multiple diantara kedua atrium (kanan dan kiri).

 Gambaran anatomis

Tiga macam variasi anatomis yang terjadi pada ASD adalah:

1.      Tipe ostium sekundum, terdapat pada 50 diantara 51 pasien

2.      Tipe ostium primum, terdapat pada 1 diantara 51 pasien, merupakan bagian kanal atrioventrikular parsial

3.      Tipe sinus venosus, terdapat pada 5% pasien, kadang-kadang disertai dengan stenosis mitral (sindrom Lutembacher)

patofisiologi

ASD sekundum biasanya terjadi oleh karena septum intra atrial tidak berkembang dengan baik, sehingga terdapat defek disekitar foramen ovale, jika defek terdapat di bagian superior dari foramen ovale dan dekat muara vena kava superior maka disebut sebagai defek sinus venosus.

Pada mulanya akan terjadi pirau dari atrium kiri ke kanan oleh karena tekanan atrium kiri Iebih besar daripada atrium kanan, selain itu perbedaan compliance antara ventrikal kanan dan ventrikel kiri juga mempengaruhi besarnya pirau.

Pada defek yang besar volume darah yang mengalir ke kanan akan menyebabkan aliran darah pulmonal bertambah, yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal, kemudian terjadi hipertensi pulmonal, peningkatan tekanan di ventrikel kanan serta atrium kanan. Jika tekanan di atrium kanan sama atau melebihi tekanan di atrium kiri maka akan terjadi hi-directional Shunt bahkan pada fase berikutnya akan terjadi sindroma Eisenmenger.

Hemodinamik

Tekanan atrium kiri yang lebih tinggi menyebabkan darah mengalir ke atrium kanan.

1.      Bila defek besar sekali maka secara fungsionil terdapat satu atrium.

2.      Tahanan pada pengisian ventrikel kanan lebih kecil daripada ventrikel kiri.

3.      Pada ASD besar, perubahan-perubahan vaskuler paru serta peninggian PVR (Pulmonary Vascular Resistance) lebih lambat terjadi daripada PDA dan VSD.

 Manifestasi klinis

·         Pada tipe ostium sekundum dan sinus venosus akan menyebabkan keluhan kelemahan dan sesak nafas, umumnya timbul pada usia dewasa muda.

·         Kegagalan jantung kanan serta aritmia supraventrikular dapat pula terjadi pada stadium lanjut.

·         Gejala yang sama juga ditemukan pada tipe ostium primum.

·         Apabila regurgitasi mitral berat, gejala serta keluhan akan muncul lebih berat dan lebih awal.

·         Gejala umumnya ditemukan pada usia 20-40 tahun, 9-15% pada  umur yang lebih tua. Pasien wanita lebih banyak daripada pria dengan perbandingan 4 : 1.

VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)/DEFEK SEPTUM VENTRIKEL

VSD adalah kelainan jantung berupa tidak sempurnanya penutupan dinding pemisah antara kedua ventrikel sehingga darah dari ventrikel kiri ke kanan dan sebaliknya. Umumnya congenital dan merupakan kelainan jantung bawaan yang paling sering ditemukan.

patofisiologi

Secara klinis perubahan hemodinamik VSD tergantung dan besar kecilnya defek dan tingginya resistensi pulmonal dan tanpa adanya perubahan hemodinamik sampai terjadi gagal jantung kongestif maupun hipertensi pulmonal.

Pada VSD dengan defek ukuran sedang tenjadi beban volume berlebih pada arteri pulrnonalis atrium kiri serta ventnikel kiri, sedang pada ventnikel kanan tidak mengalami penambahan beban volume oleh karena darah yang masuk melewati pirau tenjadi pada saat sistol dimana pada saat itu ventrikel kanan mengalami kontraksi sehingga darah langsung masuk ke arteri pulmonalis.

  1. D.    Patofisiologi

Pirau dari kiri ke kanan, berakibat peningkatan aliran darah ke arteri pulmonalis

Dilatasi atrium kiri  peningkatan tekanan atrium kiri

Peningkatan volume (volume overload) ventrikel kiri

 

 

 

 

 

 

 

 

Derajat beratnya pirau kiri – kenan ditentukan oleh besarnya defek. Kecuali pada yang non restriktif, pirau ditentukan oleh perbedaan relatif tahanan antara sirkulasi sistemik dan sirkulasi paru.

Peningkatan tekanan di atium kiri sebagai akibat dari pirau kiri ke kanan dapat memicu terjadinya pirau kiri ke kanan tambahan dari foramen ovale yang teregang/ terbuka (stretched foramen ovale). (Bila volume di atrium kiri bertambah tekanan bertambah septum inter atrium akan terdorong ke arah atrium kanan foramen ovale teregang  terbuka, disebut stretched foramen ovale ).

Pada saat janin/fetus, plasenta adalah sumber prostaglandin utama. Setelah lahir, plasenta tidak ada. Paru-paru merupakan tempat metabolisme prostaglandin. Dengan hilangnya plasenta, ditambah dengan semakin matangnya fungsi paru, maka kadar prostaglandin neonatus akan segera menurun. Maka duktus akan mulai menutup secara fungsional (konstriksi) dimulai dari sisi pulmonal. Penutupan duktus ini dipengaruhi oleh kadar PaO2 ateri, prostaglandin, thromboksan.

Pada neonatus preterm(prematur), penutupan duktus terjadi lambat, karena metabolisme/degradasi prostaglandin tidak sempurna disebabkan oleh fungsi paru yang belum matang, dan sensitivitas terhadap duktus meningkat. Respons duktus terhadap oksigen juga tidak baik. Sementara itu, dengan bertambahnnya umur, tahanan vaskular paru akan menurun, maka pirau kiri ke kanan akan bertambah, sehingga muncullah gejala.

Pada usia 2 minggu, duktus akan menutup secara anatomi dengan terjadinya perubahan degeneratif dan timbulnya jaringan fibrotik, berubah menjadi ligamentum arteriosum.

  1. E.     WOC penyakit jantung congenital

 

 

  1. F.     Penatalaksanaanya

Penatalaksanaan Konservatif : Restriksi cairan dan pemberian obat-obatan : Furosemid (lasix) diberikan bersama restriksi cairan untuk meningkatkan diuresis dan mengurangi efek kelebihan beban kardiovaskular, Pemberian indomethacin (inhibitor prostaglandin) untuk mempermudah penutupan duktus, pemberian antibiotik profilaktik untuk mencegah endokarditis bakterial.

1.      Pembedahan : Pemotongan atau pengikatan duktus.

2.      Non pembedahan : Penutupan dengan alat penutup dilakukan pada waktu

3.   Operasi penutupan defek, dianjurkan saat berusia 5-10 tahun

4.  Obat vasodilator, obat antagonis kalsium untuk membantu pada pasien dengan resistensi     kapiler paru yang sangat tinggi dan tidak dapat dioperasi.

 

G.    Pemeriksaan diagnostic

 

1.      Foto Thorak : Atrium dan ventrikel kiri membesar secara signifikan (kardiomegali), gambaran vaskuler paru meningkat

  1. Ekhokardiografi : Rasio atrium kiri terhadap pangkal aorta lebih dari 1,3:1 pada bayi cukup bulan atau lebih dari 1,0 pada bayi praterm (disebabkan oleh peningkatan volume atrium kiri sebagai akibat dari pirau kiri ke kanan)
  2. Pemeriksaan dengan Doppler berwarna : digunakan untuk mengeva-luasi aliran darah dan arahnya.
  3. Elektrokardiografi (EKG) : bervariasi sesuai tingkat keparahan, pada PDA kecil tidak ada abnormalitas, hipertrofi ventrikel kiri pada PDA yang lebih besar.
  4. Kateterisasi jantung : hanya dilakukan untuk mengevaluasi lebih jauh hasil ECHO atau Doppler yang meragukan atau bila ada kecurigaan defek tambahan lainnya.

 

 

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL

  1. A.    Pengkajian
    1. Riwayat keperawatan : respon fisiologis terhadap defek (sianosis, aktivitas terbatas)
    2. Kaji riwayat kesehatannya(RKS.RKD & RKK)
    3. Kaji adanya tanda-tanda gagal jantung, nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi jantung tambahan (machinery mur-mur), cedera tungkai, hepatomegali.
    4. Kaji adanya hipoksia kronis : Clubbing finger
    5. Kaji adanya hiperemia pada ujung jari
    6. Kaji pola makan, pola pertambahan berat badan
    7. Pengkajian psikososial meliputi : usia anak, tugas perkembangan anak, koping yang digunakan, kebiasaan anak, respon keluarga terhadap penyakit anak, koping keluarga dan penyesuaian keluarga terhadap stress.
    8. B.     Diagnosa Keperawatan
      1. Penurunan curah jantung b.d malformasi jantung.
      2. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplai oksigen ke sel.
      3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan b.d tidak adekuatnya suplai oksigen dan zat nutrisi ke jaringan.
      4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori.
      5. C.    Intervensi

Tujuan

Pola nafas menjadi normal

Penurunan COP teratasi

Gangguan nutrisi dapat teratasi

Gangguan tumbuh kembang dapat dikurangi.

 

Kriteria hasil

Pernafasan kembali normal(16- 24 x/ i)

COP menjadi naik dan kembali normal( 5 liter/i)

BB meningkat serta nafsu makan meningkat

Pertumbuhan dan perkembangan dapat berjalan sebagaimana mestinya(normalnya)

  1. Mempertahankan curah jantung yang adekuat :
    1. Observasi kualitas dan kekuatan denyut jantung, nadi perifer, warna dan kehangatan kulit
    2. Tegakkan derajat sianosis (sirkumoral, membran mukosa, clubbing)
    3. Monitor tanda-tanda CHF (gelisah, takikardi, tachypnea, sesak, mudah lelah, periorbital edema, oliguria, dan hepatomegali)
    4. Kolaborasi pemberian digoxin sesuai order, dengan menggunakan teknik pencegahan bahaya toksisitas.
    5. Berikan pengobatan untuk menurunkan overload
    6. Berikan diuretik sesuai indikasi.
  2. Mengurangi adanya peningkatan resistensi pembuluh paru:
    1. Monitor kualitas dan irama pernafasan
    2. Atur posisi anak dengan posisi fowler
    3. Hindari anak dari orang yang terinfeksi
    4. Berikan istirahat yang cukup
    5. Berikan nutrisi yang optimal
    6. Berikan oksigen jika ada indikasi
  3. Mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat :
    1. Ijinkan anak untuk sering beristirahat, dan hindarkan gangguan pada saat tidur:
    2. Anjurkan untuk melakukan permainan dan aktivitas ringan
    3. Bantu anak untuk memilih aktivitas yang sesuai dengan usia, kondisi dan kemampuan anak.
    4. Hindarkan suhu lingkungan yang terlalu panas atau terlalu dingin
    5. Hindarkan hal-hal yang menyebabkan ketakutan / kecemasan pada anak
  4. Memberikan support untuk tumbuh kembang
    1. Kaji tingkat tumbuh kembang anak
    2. Berikan stimulasi tumbuh kembang, aktivitas bermain, game, nonton TV, puzzle, menggambar, dan lain-lain sesuai kondisi dan usia anak.
    3. Libatkan keluarga agar tetap memberikan stimulasi selama dirawat
  5. Mempertahankan pertumbuhan berat badan dan tinggi badan yang sesuai.
    1. Sediakan diit yang seimbang, tinggi zat-zat nutrisi untuk mencapai pertumbuhan yang adekuat
    2. Monitor tinggi badan dan berat badan, dokumentasikan dalam bentuk grafik untuk mengetahui kecenderungan pertumbuhan anak
    3. Timbang berat badan setiap hari dengan timbangan yang sama dan waktu yang sama
    4. Catat intake dan output secara benar
    5. Berikan makanan dengan porsi kecil tapi sering untuk menghindari kelelahan pada saat makan
    6. Anak-anak yang mendapatkan diuretik biasanya sangat haus, oleh karena itu cairan tidak dibatasi.
    7. Implementasi

Melaksanakan/ melakukan tindakan yang telah direncanakan sesuai dengan intervensi untuk kesembuhan dan meningkatkan kesehatan klien.

  1. E.     Evaluasi

Pada tahap ini perawat akan mengevaluasi atau melakukan pemeriksaan kembali untuk mengetahui sejauh manakah perkembangan terhadap pasiennya serta untuk mengetahui apakah intervensi dan implementtasi telah tercapai atau belum.

Yang terdiri dari SOAP( subjek,objektif,analisa dan plening)

 

 

 

ASKEP DIFTERI PADA ANAK
2.1 Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang menular, disebabkan oleh corynebacteri um diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa.
Difteri adalah suatu infeksi demam akut, biasanya ditenggorok dan paling sering pada bulan-bulan dingin pada daerah beriklim sedang. Dengan adanya imunisasi aktif pada masa anak-anak dini. (Merensien kapian Rosenberg, buku pegangan pediatric, Hal. 337)
Difteri adalah suatu infeksi, akut yang mudah menular dan yang sering diserang adalah saluran pernafasam bagian atas dengan tanda khas timbulnya “pseudomembran”.
(Ngastiyah perawatan anak sakit, edisi 2 Hal. 41)
Diferi adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari corynebacterium diphtheriae (c. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas murosasaluran pernafasan dan kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit letak dan demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya membrane kelabu yang menutupi tansil serta bagian saluran pernafasan. (www.podnova.com)
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tansil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.
2.2 Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksin yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak.
2.3 Tanda dan Gejala
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.
a) Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
b) Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
c) Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.
d) Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

2.4 Patofisiologi
Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin, perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas.
2.5 Penatalaksanaan
2.5.1 Penatalaksanaan medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
– ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
– Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
– Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda). Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational product”. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada waktu jam kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan menghubungi nomor telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian antitoksin. Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.
2.5.2 Penatalaksanaan keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan.
Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.
õ Sumbatan jalan napas.
Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi otot, kedengaran stridor:
a. Berikan O2
b. Baringkan setengah duduk
c. Hubungi dokter.
d. Pasang infus (bila belum dipasang)
2.6 Komplikasi Difteri
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun
organ lainnya:
1) Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus. Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan kuman streptokokus.
2) Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas
Obstruksi ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas. Obstruksi jalan nafas dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan atelektasis.
3) Sistemik
Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Faktor yang
mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi kuman. Virulensi makin tinggi komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama atau lambat pada minggu keenam.

Neuritis
Terjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan komplikasi dari difteri berat. Manifestasi klinik ditandai dengan:
Timbul setelah masa laten
Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominan dari pada sensorik
Biasanya sembuh sempurna.

3) Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini dapat berupa:
o Paralysis palatum molle
o Manifestasi saraf yang paling sering
o Timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan regurgitasi hidung, tetapi ada yang mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2
o Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
o Ocular palsy
o Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralysis dari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Otot yang kena ialah m. rectus externus.
o Paralysis diafragma
o Dapat terjadi pada minus 5-7
o Paralisis ini disebabkan neuritis n. phrenicus dan bila tidak segera diatasi penderita akan meninggal.
o Paralysis anggota gerak
Dapat terjadi pada minggu 6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon menghilang, cairan cerebrospinal
menunjukan peningkatan protein yang mirip dengan sindrom guillian barre.
2.7 Pencegahan
a) Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada
umumnya setelah menderita penyakit diphtheria kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
b) Khusus
Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.
ASKEP TEORITIS
Pengkajian
Anamnesa mencakup identitas pasien, keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan lingkungan dan tempat tinggal.
1. Identitas
a. Identitas klien
Meliputi identitas klien yaitu : nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, agama, pendidikan, tanggal masuk RS, tanggal pengkajian, No. RM, diagnose medis, alamat dan rencana terapi.
b. Identitas orang tua
Identitas orang tua(ayah dan ibu) : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan/ sumber penghasilan dan alamat.
c. Identitas saudara kandung
Identitas saudara kandung ini meliputi berapa orangkah jumlah saudara, nama, usia, hubungan dan status kesehatan.
2. Keluhan utama
• Kaji tanda dan gejala umum: apabila terdapat demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah.
• Kaji tanda dan gejala lokal: nyeri menelan, bengkak pada leher.
• Kaji gejala akibat eksotoksin misalnya mengenai otot jantung terjadi miokarditis dan bila mengenai saraf terjadi kelumpuhan.
• Kaji bila terdapat komplikasi.
• Pemeriksaan diagnostik: pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin, pada urin terdapat albuminuria ringan.
Diagnosa keperawatan
• tidak efektif jalan nafas b.d obstruksi pada jalan nafas
• perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang kurang
• Gangguan rasa aman dan nyaman b.d proses penyakit
• Gangguan hipertermi berhubungan factor infeksi
Intervensi
• Pantau dan cegah adanya komplikasi.
• Dorong dan dukung asupan dan status nutrisi yang sesuai.
• Pantau adanya nyeri
• Berikan dorongan emosional pada anak dan keluarga
Implementasi Keperawatan
Lakukanlah apa yang harus anda lakukan pada saat itu. Dan catat apa yang telah anda lakukan tidakan pada pasien.
Evaluasi Keperawatan
• Anak tidak menunjukan tanda dan gejala adanya komplikasi / infeksi
• Fungsi pernafasan anak membaik
• Tingkat aktifitas anak sesuai dengan usianya